Korupsi & KUHP Baru
Penulis:
Yulianta Saputra, S.H., M.H.*
Baru-baru ini, Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) telah diketok palu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Sehubungan ihwal itu, salah satu problematika nan cukup krusial, yakni mengenai masuknya delik korupsi dalam KUHP anyar tersebut.
Muncul pro dan kontra, baik itu secara kelembagaan atawa antara sesama pakar hukum. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam perihal ini tentu termasuk lembaga yang paling getol menolak pasal-pasal Tindak Pidana Korupsi masuk di dalam KUHP baru a quo. Adapun menurut ahli hukum yang terlibat dalam penyusunan KUHP baru berkukuh mempertahankan keyakinan opininya bahwa ketentuan Tindak Pidana Korupsi dalam KUHP tak akan melemahkan kewenangan KPK. Sebaliknya, bagi ahli hukum yang lain justru mendukung pendapat KPK bahwasanya masuknya delik korupsi di KUHP tersebut sejatinya adalah fragmen dari upaya untuk melemahkan KPK.
Masuknya pasal-pasal Tindak Pidana Korupsi dalam KUHP baru sesungguhnya merupakan periode kemunduran dalam spirit dan ikhtiar pemberantasan korupsi. Bagaimana tidak, dengan mereposisi Tindak Pidana Korupsi untuk saat ini dengan dimasukkannya ke dalam KUHP maka impaknya Tindak Pidana Korupsi tak lagi merupakan tindak pidana khusus dan bersifat luar biasa, melainkan hanya menjadi tindak pidana umum. Hal ini tentu identik membuat derajat delik korupsi sama dengan tindak pidana lainnya.
Kemunduran ini akan lebih kentara terlihat bila diselidiki dari eksistensi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Kedua undang-undang tersebut sudah menandaskan bahwasanya Tindak Pidana Korupsi selama ini jamak terjadi secara meluas, yang tak hanya merugikan keuangan negara, walakin jua telah merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara masif, serta karenanya Tindak Pidana Korupsi perlu digolongkan sebagai konfigurasi kejahatan luar biasa.
Melihat latar belakang tersebut, maka persoalan memasukkan delik pidana korupsi ke dalam KUHP, sama saja dengan menyanggah arah kebijakan negara selama ini terhadap upaya pemberantasan korupsi yang telah ada. Artinya, semangat dan ikhtiar pemberantasan korupsi sebagai proporsi dari nilai reformasi, tak lagi dijadikan sebagai salah satu fokus utama dalam mengimplementasikan perbaikan konstelasi kehidupan bangsa ini.
DPR dan Pemerintah, di sini secara tidak langsung berarti juga telah mendegradasi derajat penanganan kasus korupsi menjadi semacam penanganan tindak pidana biasa pada galibnya. Ini tentu sama halnya dengan mereduksi tingkat keseriusan atau iktikad negara dalam usahanya memberangus korupsi. Ihwal tersebut niscaya sangat tragis, apalagi jika kita melihat perkembangan kontemporer dimana Indonesia masih berada dalam status darurat korupsi.
Tengok saja, data rilis teranyaroleh Transparency International tentang tingkatCorruption Perception Indexatau Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia tahun 2021. Dari skor tertinggi 100, Indonesia hanya mampu meraih skor sebanyak 38 saja. Sungguh nilai yang masih tergolong rendah. Dengan keterangan tersebut, Indonesia masih berada di peringkat 96 dari 180 negara yang disurvei di seluruh dunia. Sungguh juga bukan peringkat yang membanggakan.
Melihat keadaan ironis tersebut, maka sudah seyogianya untuk saat ini sebaiknya delik korupsi dalam KUHP mesti dianulir dan tetap dijadikan sebagai delik khusus yang konstan diatur dalam peraturan khusus pula. Harus dimafhumi, jangan sampai sebuah langkah progresif terkait penyusunan sebuah undang-undang yang baru untuk menggantikan regulasi peninggalan zaman kolonial Belanda malah ditumpangi oleh kepentingan-kepentingan politis dalam kerangka "mengendalikan" KPK.
Bagaimanapun, sampai dewasa ini korupsi masih menjadi problematika besar dan amat serius bagi persada Ibu Pertiwi Indonesia.Hal ini tak lain dan tak bukan agar proses migrasi pasal-pasal dari Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ke KUHP baru tidak menjadi sebuah upaya disruptif pemberantasan korupsi yang belakangan ini justru mulai kian gencar-gencarnya ditunaikan. (Artikel ini sebelumnya sudah pernah dimuat dalam Kolom Analisis Surat Kabar Kedaulatan Rakyat edisi 8 Desember 2022, halaman 1 bersambung ke halaman 7)
*) Pengajar Prodi Ilmu Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum,
Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta.