Dilihat 0 Kali

UIN SUKA

Selasa, 26 November 2024 17:54:04 WIB

Mewaspadai Godaan Politik Uang

 

oleh: Yulianta Saputra, S.H., M.H., C.M.

Dosen Prodi Ilmu Hukum 

FSH UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta



 

Masa kampanye Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) sudah selesai pada hari Sabtu tanggal 23 November kemarin. Kini pada tanggal 24, 25, dan 26 November, kita memasuki masa tenang serta di hari Rabu, 27 November esok dilaksanakan pemungutan suaranya. Sebagaimana dimafhummi, Pilkada kali ini diikuti tak kurang dari 545 daerah dengan rincian  memilih gubernur di 37 provinsi, bupati di 415 kabupaten, serta wali kota di 93 kota secara bersamaan. 

Dapat dibayangkan, betapa banyak sumber daya dikerahkan guna melaksanakan pilkada serentak itu. Banyak   stakeholder   terkait mesti “berjibaku” mengawalnya. Saban kandidat jua skuadnya niscaya berlomba-lomba mengerahkan segala cara demi memenangi kontestasi ini. Musabab itu, potensi berbagai pelanggaran dan penyalahgunaan di lapangan bisa sangat besar.

Tak terkecuali perihal politik uang. Bahkan, bisa dibilang   money politic   jadi salah satu tantangan terbesarnya. Potensi politik uang ini menjadi kian memprihatikan tatkala menilik hasil survei Indikator Politik Indonesia beberapa waktu silam. Institusi tersebut menandaskan bahwasanya sebanyak 46,9% responden menyebut bahwa  money politic  bisa ditoleransi dan ihwal yang wajar. 

Apalagi politik uang dalam Pilkada serempak tahun ini tampak dinormalisasi pasca-ditetapkannya Peraturan KPU (PKPU) Nomor 13 Tahun 2024 tentang Kampanye Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati jua Wakil Bupati, serta Walikota dengan Wakil Walikota. Sebagaimana ditandaskan dalam regulasi   a quo   di Pasal 66 ayat (5) yang memperbolehkan pasangan calon dan tim kampanye memberikan hadiah dalam bentuk barang dengan nilai maksimal Rp 1 juta.

Ihwal ini berarti sangat mungkin para pemilih di negeri ini masih jamak yang bersikap amat transaksional selama proses pilkada.  Padahal, pemimpin yang lahir dari proses nan keliru bertendensi melakukan praktik kepemimpinan dalam masa jabatannya dengan tak benar pula. Pertanyaan yang layak diajukan, bagaimana supaya problematika politik uang  bisa dieradikasi atau setidak-tidaknya diminimalisir agar hak pilih warga dalam pilkada konstan terjaga?

Pertama, harus ada keinsafan para peserta pilkada betapa politik uang bukanlah cara elegan memenangi kontestasi. Malahan dapat dikatakan susungguhnya   money politic   merupakan mekanisme teramat busuk. Di sini tentu para petinggi partai dapat memberi tahu para kandidiat kepala daerah jua calon wakilnya sebaiknya mempunyai kepercayaan yang tinggi kala berkontestasi.

Kedua, mesti ada kesadaran publik bahwa menerima uang saban kontestasi pilkada bukanlah berkah melainkan musibah nan harus dihindari. Politik uang sejatinya merendahkan martabat rakyat yang notabene pemberinya jua pasti tak punya harkat. Masyarakat harus distimulasi menampik politik uang dengan diberi cakrawala bahwa menerima uang dalam pilkada identik mau “dijebak” untuk sekadar memenangkan sang pemberi uang. Ringkasnya, di sini khalayak justru dijauhkan dari cita-cita mendapatkan pemimpin mumpuni memajukan wilayahnya.

Ketiga,   wajib ada sanksi tandas bagi peserta pilkada yang melakukan politik uang. Diinsafi   money politic   bisa ada lantaran pelakunya tak merasa akan diberi sanksi tegas jikalau konstan melakukannya. Paling tidak, ada   punishment   hingga diskualifikasi bagi yang memberikan uang kepada pemilih. Kita menduga kuat, apabila calon kepala daerah jua kandidat wakilnya semenjak semula bermain politik uang, diindikasikan berimbas pada keluaran beleid yang diambil syahdan berniat mengembalikan “modal” pilkada yang dikeluarkannya. 

Pilkada sejatinya momentum mengonsolidasikan demokrasi di aras lokal. Penentuan progres atau regresi daerah termasuk masyarakatnya dalam beberapa tahun ke depan sangat ditentukan dari pertaruhan politik elektoral yang akan berlangsung.  Atas kausa itu, maka  pilkada sebenarnya jua merupakan momen mengedukasi khalayak agar memiliki kemelekan dan kedewasaan berdemokrasi.

Akhirnya, jangan sampai pilkada serentak 2024 ini sarat keculasan dengan masifnya politik uang. Mengatasi   money politic   dalam pesta demokrasi niscaya membutuhkan kolaborasi Bawaslu, partai politik, penegak hukum, serta publik. Edukasi politik perenial dan asertifnya penegakan hukum jadi kunci meminimalisir praktik keblinger ini. Semua itu demi masa depan demokrasi (lokal) lebih kalis. Bagaimanapun kita butuh pilkada berintegritas nir-politik uang. (Artikel ini sebelumnya sudah tayang di rubrik “opini” Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat (KR) edisi hari Rabu, 26 November 2024 halaman 11).


 

 

 

kolom Terbaru