Korupsi Kepala Daerah
Kasus korupsi seolah tak ada matinya di negeri ini. Satu belum tuntas, menyembul perkara baru. Ibarat serial telenovela nan menguras amarah dan air mata, begitulah tangkap tangan yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap kepala daerah di Indonesia.
Mutakhir serta aktual, KPK melakukan tangkap tanganterhadap Wali Kota Bandung,Yana Mulyanaterkait indikasi suap pengadaan kamera pemantau (CCTV) dan jasa penyedia jaringan internet di Kota Bandung, Jawa Barat. Sebelumnya medio Maret silam, KPK menahan Bupati Kapuas, Kalimantan Tengah, Ben Brahim S Bahat yang juga diduga korupsi. Syahdan, awal April lalu, KPK jua menangkap Bupati Kepulauan Meranti, Riau, M Adil disebabkan rasuah.
Kesemuanya disinyalir berkelindan dengan persiapan menghadapi Pilkada 2024. Yana sudah disebut-sebut untuk dicalonkan kembali sebagai Wali Kota Bandung. Motif serupa dinyana pula terjadi pada Ben dan Adil, yaitu mengumpulkan dana-dana operasional demi pencalonannya kembali pada periode berikutnya.
Menyandera Akal Sehat
Tentu gebrakan KPK dalam perihal purifikasi negara ini dari anasir-anasir korup termasuk pencegahan hadirnya pemimpin culas, pantas diapreasiasi tinggi. Betapa tidak, pimpinan serta insan lembaga anti-rasuah itu seakan memiliki badan super fit serta tak kenal lelah dalam mengintai, menemukan dan menersangkakan para pejabat ataupun politikus kotor beserta jejaringnya baik dari kalangan pebisnis maupun birokrat.
Adapun senarai kepala daerah ‘terjerembap’ dalam ‘kubangan’ korupsi pun kian jamak. Data faktual dari KPK menandaskan kalkulasi kuantitatifnya semenjak tahun 2004-2022, sebanyak 176 merupakan pejabat daerah terjerat problem rasuah. Rinciannya, terdapat 22 gubernur dan 154walikota/bupatidan wakil yang juga berurusan dengan KPK. Tendensi seperti itu niscaya amat memprihatinkan.
Dari preseden buruk perkara-perkara a quo, para pemimpin daerah tersebut telah menyandera akal sehat politik rakyat via praktik banalitas korupsi. Mereka memotong kanal rakyat untuk mendapatkan kesejahteraan. Alih-alih mengevakuasi publik dari keterbelakangan di seantero dimensi ke ruang kesentosaan, walakin masyarakat justru seakan digiring dalam labirin politik gelap lagi lancung. Pertanyaannya, mengapa tindakan KPK tak jua menjerakan, padahal institusi ini sudah getol menggalakkan gerakan pencegahan korupsi?
Penulis mensinyalir beberapa determinan menjadi musababnya. Pertama, tak bisa dimungkiri ihwal itu impak dari tuntutan mahalnya biaya politik. Maka, mereka harus memanfaatkan kans dan probabilitas selama menjabat tak hanya untuk mengembalikan segala biaya yang dikeluarkan, melainkan mesti untung agar bisa menyiapkan harta bagi terjaminnya hidup enak kala purnatugas serta guna persiapan menghadapi pertarungan politik berikutnya lantaran prinsipnya tak boleh kalah harta.
Kedua, ada asumsi bahwa tertangkap KPK hanyalah soal nasib karena praksis korupsi talah menjadi habitus hampir seluruh pejabat bangsa ini. KPK sendiri tak memiliki kantor di daerah, sementara pihak kepolisian dan kejaksaan yang dalam tupoksinya ada tugas eradikasi korupsi masih dianggap bisa berkolaborasi, saling pengertian. Apalagi sudah jadi kerabat dalam forum pimpinan daerah. Dus, dianggap tahu sama tahu, kondisi ‘simbiosis mutualisme’ atawa saling menguntungkan.
Ruang Politik
Ketiga, penjara bagi para koruptor sudah tak menakutkan lagi. Santer kita dengar dan mafhumi, di dalam lembaga permasyarakatan mereka dapat menikmati kehidupan biasa, disparitas ruangnya saja yang lebih terbatas. Tetapi harta mereka tetap bejibun, yang bisa dicecap famili dan pelaku pasca-bebas. Ruang politik pun masih terbuka luas setelah keluar bui. Khalayak pun masih perenial menjadikan mereka sebagai rujukan, anutan, dan bahkan konstan jadi kebanggaan.
Atas pelbagai kausa tersebut, sudah seyogianya kerja serius dan sinergis KPK, PPTAK, KPU, jua Bawaslu dalam mengontrol mobilisasi ekonomi-politik para calon kepala daerah akan sangat membantu proteksi tahapan sakral pilkada dari bayang hitam politik koruptif yang menggurita. Diinsafi integritas pilkada dan kemenangan demokrasi akan muskil digapai jika elemen-elemen tersebut malah menggadaikan otoritasnya cuma demi tawaran kenikmatan sesaat. Era kiwari saatnya pula bagi parpol dan penyelenggara pemilu melawan serangan paralisis dalam tubuh demokrasi lokal supaya rakyat tak melulu dicampakkan nasibnya di ‘altar’ pilkada.
*) Yulianta Saputra, S.H., M.H.
Dosen Tetap Fakultas Syari’ah & Hukum,
Prodi Ilmu Hukum,
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta