Catatan untuk Parlemen
Dalam titimangsa hari penting di negara ini, di setiap tanggal 16 Oktober, kita memperingati Hari Parlemen Indonesia. Tak seperti pada hari-hari peringatan lainnya, Hari Parlemen Indonesia tak jamak dimafhumi oleh khalayak. Hari Parlemen Indonesia yang tahun ini ‘menginjak’ usia 78 tahun mulanya dimaksudkan guna menandai urgensi dan krusialnya sebuah badan perwakilan di mana mereka menampung aspirasi dari masyarakatnya.
Parlemen, sebuah istilah barat yang berarti lembaga perwakilan. Sementara itu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) adalah istilah yang acap dan familier dikenal di negeri ini. Tulisan ringan ini dihadirkan tentu tidak berpretensi untuk membahas secara komprehensif hari seputar parlemen di Indonesia. Walakin demikian, artikel dalam kajian ini lebih sekadar mencuplik beberapa perihal yang merupakan fragmen dari dinamika parlemen dulu hingga kontemporer.
Menyerap Aspirasi
Semenjak masa-masa zaman penjajahan Belanda, Indonesia telah mengetahui apa yang dikenal dengan nomenklatur Volksraad (Dewan Rakyat). Institusi perwakilan nan menjadi kebutuhan aspirasi di tengah sistem kolonial yang begitu amat sangat membelenggu. Pasca-ihwal tersebut, di masa peralihan Belanda dan Jepang, Indonesia juga sudah menyiapkan sebuah lembaga yang merupakan cikal bakal DPR, yakni Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP).
Dari KNIP inilah masyarakat Indonesia nan terdidik yang dipimpin oleh Muhammad Hatta dan Sutan Sjahrir mulai menginsafi maksud pentingnya suatu pranata yang memberikan limitasi kekuasaan presiden agar tidak absolut. Hatta dan Sjahrir yang memang memprioritaskan arti pengkaderan bagi masyarakat, khususnya publik terdidik, merasa perlu mendirikan sebuah badan yang menyerap aspirasi dari setiap masyarakat.
Perihal ini terbukti tatkala kekuasaan Soekarno yang semula mutlak, sedikit mengendur dengan beleid a quo. Atas konsiderasi politik agar Indonesia direkognisi sebagai negara yang demokratis nan memiliki aparatur lengkap, syahdan Hatta menuangkan ekspektasinya dengan menelurkan Maklumat Wakil Presiden Nomor X tertanggal 16 Oktober 1945 yang memutuskan bahwa tugas KNIP bertransformasi dari awalnya pembantu presiden menjadi sepadan dengan presiden, yakni berwenang dalam menyusun undang-undang dan ikut pula menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN).
Memulihkan Kepercayaan
Mengingat kesejarahan parlemen di Indonesia yang diperjuangkan the founding fathers and mothers maka tak galat jika dalam momen ini lantas kita lebih berpengharapan kepada para anggota DPR agar benar-benar mampu serta memiliki komitmen tinggi dalam menunaikan amanahnya selaku wakil rakyat di mana mereka adalah pelayan rakyat.
Perihal itu lantaran selama ini lembaga legislatif masih kerap dihiasi oleh panorama-panorama atas marak dan meruyaknya suara sumbang impak dari pelbagai kasus tuna moral yang dilakukan oleh oknum-oknum di dalamnya. Jamak masyarakat yang masih melihat apa yang dikerjakan DPR hanyalah sebuah pencitraan belaka. Sampai-sampai era kiwari ini asesmen yang didapatkan anggota DPR dari rakyat dinilai cukup rendah.
Pada medio April 2023 silam, data rilis dari Indikator Politik Indonesia menandaskan hasil survei kepercayaan masyarakat hanya di bilangan 63,4 persen alias terendah kedua setelah partai politik. Tak ayal dan tak pelak, dari ironisnya fakta ini apabila ada yang menyebutkan DPR telah mengalami peyorasi.
Bagaimanapun jua, para legislator selaku wakil rakyat terhormat nan duduk di Senayan mesti berjibaku guna memulihkan kepercayaan masyarakat dengan memperbaiki kinerjanya. Hal ini pula apabila mengingat dari target 40 RUU yang masuk prolegnas prioritas DPR Tahun 2022, DPR hanya mampu mengesahkan sebanyak 32 undang-undang.
Atas kausa itulah, DPR sebagai parlemen Indonesia harus memiliki langkah konkret jempolan manakala anggota-anggotanya menjalankan fungsinya, entah itu tatkala sebagai legislator, penyusun anggaran negara maupun supervisor pemerintahan. Sebagai bukti sahih bahwa anggota-anggota DPR telah mengimplementasikan fungsinya dengan sangat mumpuni, aksentuasinya mesti dilakukan mulai dari senantiasa datang dalam sidang dan tak sekadar absen atau bahkan hanya titip aspirasi saja. Jika mereka getol hadir serta tidak tertidur di kala rapat, maka mereka bisa sungguh-sungguh berjibaku memperjuangkan kepentingan rakyat, termasuk konstituen.
Dus, pada akhirnya via peringatan Hari Parlemen Indonesia kali ini niscaya dapat dijadikan momentum bagi tiap legislator untuk mengevaluasi kinerja dan membenahi lembaga legislatif yang notabene refleksi diri sebagai utusan rakyat. Sehingga dari perihal itu, parlemen Indonesia untuk sekarang dan waktu mendatang kian kredibel, akseptabel, dan senantiasa kapabel menjunjung tinggi amanat rakyat dalam kerangka demi kepentingan bangsa jua negara menjadi afdal serta ujungnya sekaligus dapat meningkatakan kepercayaan masyarakat terhadap institusi tersebut.
*Artikel ini sebelumnya sudah diterbitkan di surat kabar harian Kompas versi digital edisi Senin, 16 Oktober 2023 sebagaimana terdapat dalam laman https://www.kompas.id/baca/opini/2023/10/15/catatan-untuk-parlemen