Petasan

Penulis: Yulianta Saputra, S.H., M.H.*

Ramadan baru saja dimulai, namun kecelakaan akibat petasan telah terjadi. Miris dan tragis. Belum lama ini, sebuah gudang petasan di Kapanewon Pandak, Bantul meledak. Ledakan yang notabene terjadi di teras rumah salah satu RT di Gedang Sari, Desa Wilirjo tersebut tak ayal membuat Detasemen Gegana Satbrimob Polda DIY bergerak. Mereka menemukan sejumlah barang bukti sisa-sisa ledakan. Imbas dari insiden nahas tersebut mengakibatkan setidaknya empat orang terluka parah dan mesti mendapatkan perawatan dari rumah sakit. Disinyalir peristiwa tersebut terjadi lantaran bahan peledak low explosive, yakni bahan pembuat mercon.

Kasus ledakan petasan ini tentunya menjadi pelajaran bersama bagi semua pihak mulai dari warga, komunitas dan penegak hukum serta stakeholder terkait guna mencegah kejadian serupa tak terulang. Sebagaimana dimafhumi, bahwasanya dari sulutan petasan bisa menghasilkan suara nan keras terdengar dan dentumannya dapat begitu memekakkan telinga. Bunyi darinya pun niscaya jua mampu mengagetkan setiap person yang mendengarnya. Suaranya memang tak sedahsyat ledakan bom. Walakin, suaranya sungguh teramat mengganggu ketenangan.

Bunyi petasan pun sangat menganggu masyarakat. Malam nan seharusnya dipakai untuk mengaso, tapi malah terganggu bahana suara-suara petasan. Impak lain dari bunyi petasan tak ayal pula mengundang mara bahaya, yaitu musabab kebakaran. Sedangkan, kebakaran bukan saja terjadi pada benda-benda mati yang ada di sekitarnya, namun ledakan petasan bisa juga sampai membakar fragmen tubuh manusia yang berada pada daerah sekeliling ledakannnya. Bahkan, dalam beberapa kasus, bermain petasan impresinya menyebabkan fatalitas.

Sudah bukan rahasia lagi jika pengawasan dan urusan birokrasi kita tak kapabel mencegah pedagang untuk berjualan petasan. Jamaknya aksi-aksi penyelundupan petasan dari luar negeri dan letoinya supervisi menjadi biang kerok sehingga ujung-ujungnya menjadikan Indonesia lahan "bakar uang" bagi oknum-oknum tak memiliki akuntabilitas.

Ditinjau dari aspek religi, membakar petasan lebih banyak mudaratnya ketimbang dari segi maslahatnya. Wajar jika para ulama melarang membakar petasan. Dari perspektif yuridis pun, regulasi perihal petasan sudah amat asertif tertuang di dalam Undang-Undang Darurat Nomor 12/1951 dan pasal 187 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang mengatur soal bahan peledak dapat menimbulkan ledakan serta dianggap menganggu lingkungan. Di dalam pelbagai reglemen a quo sudah ditandaskan bahwasanya pembuat, penjual, penyimpan serta pengangkut petasan dapat dikenakan hukuman minimal 12 Tahun penjara hingga seumur hidup.

Hukum ini kudu ditegakkan, tanpa pandang bulu. Bahkan atas kausa tersebut, semestinya di bulan Ramadan, pedagang dan elemen-elemen lain yang inheren dengan petasan hendaknya tahu diri dan menahan nafsu melulu ingin mencari cuan. Seyogianya diinsafi bersama, bulan Ramadan merupakan momen penyucian diri, bukan berfoya-foya, membakar amarah orang lain dengan petasan dan hal-ihwal nan tak berfaedah lainnya.

Khusus para orang tua pastikan buah hati Anda dengan diberi pengertian agar memanfaatkan bulan puasa dengan prudensial. Jika ingin bermain pun bisa menggunakan permainan-permainan lain seperti bermain peran, congklak, ataupun berjalan menggunakan bambu. Jadi tak ada lagi premis kenapa harus marak petasan kala bulan Ramadan.

Bulan Ramadan ini adalah bulan kesabaran di mana kita diuji untuk dapat mengekang hawa nafsu bersenang-senang. Maka spirit Ramadan sesungguhnya ialah semangat menghargai orang lain, memperlakukan orang lain sebagaimana kita ingin diperlakukan.

Dus, bulan Ramadan mesti menjadi momentum untuk menjadi pribadi terbaik. Kita patut mengisinya dengan kegiatan-kegiatan kerohanian yang dapat mendekatkan diri kepada-Nya. Pada akhirnya, menjaga kondusivitas Ramadan dengan nyaman dan tenang, serta jauh dari gangguan keamanan termasuk petasan menjadi begitu relevan, sehingga khalayak publik bisa beribadah dengan khusyuk. (Artikel ini sebelumnya sudah dimuat di Kolom Analisis Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat edisi Hari Kamis, tanggal 14 Maret 2024, halaman 1 bersambung halaman 7).

*) Dosen Prodi Ilmu Hukum, FSH,

UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Kolom Terkait

Kolom Terpopuler