UU Perampasan Aset, Apa Pentingnya?
Penulis:
Yulianta Saputra, S.H., M.H.
Dosen Prodi Ilmu Hukum, FSH,
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta;
Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset kembali menjadi isu yang menarik menjelang berakhirnya masa jabatan Presiden Jokowi. Presiden Jokowi bahkan mendesak supaya RUU a quo lekas diselesaikan pembahasannya di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan disahkan menjadi UU (Tajuk Rencana Koran Kedaulatan Rakyat/KR edisi 10 September 2024 halaman 11).
UU Perampasan Aset, sebagaimana kita mafhumi amat ditunggu-tunggu lantaran perangkat-perangkat hukum yang digunakan untuk menunaikan eradikasi korupsi kontemporer terasa masih kurang. Apalagi, jamak orang paham bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tak dapat sepenuhnya reliabel menghilangkan korupsi.
Korupsi pun masih merajalela. Setidaknya dalam satu dekade terakhir, rasuah di Ibu Pertiwi terlihat kian menjadi-jadi. Korupsi belum kapabel habis terkikis salah satunya musabab kemauan para pengelola negara untuk menihilkannya belum signifikan.
Belajar dari realitas tersebut, memang sejatinya ihwal ini dapat menjadi momentum untuk mendesak segera disahkannya RUU Perampasan Aset. Toh bila ditilik ke belakang, RUU ini sudah direkomendasikan oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) lebih dari satu setengah dekade silam. Terlebih lagi, Presiden Jokowi sekitar medio tahun lalu jua telah mengeluarkan surat berisikan penugasan langsung pada stakeholder terkait agar lekas menggarap RUU yang memang telah sekian lama dibahas.
Penulis berpandangan entengnya hukuman koruptor adalah preseden buruk dalam hal eradikasi rasuah. Ihwal ringannya punishment sebenarnya sudah tak mengagetkan lagi. Apalagi hal tersebut pernah disinggung dalam hasil riset yang disingkap Indonesia Corruption Watch (ICW) selama kurun masa tahun 2021.
Berdasarkan Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) pengadilan, direktori keputusan MA, serta pemberitaan daring sepanjang masa tersebut, ditandaskan terdapat 1.282 perkara dan 1.404 terdakwa kasus korupsi yang ditangani oleh KPK juga Kejaksaan diperoleh kenyataan bahwasanya rerata hukuman penjara bagi koruptor pada 2021 hanya di kisaran 3 tahun 5 bulan penjara. Tak berhenti di situ, dari gatra pemulihan kerugian negara pun sangat minim. Ditemukan gap kontras kerugian negara impak korupsi tahun 2022 yang mencapai Rp 48,786 triliun, walakin kuantitas vonis pidana tambahan berupa uang pengganti dari antero kasus tersebut cuma di kisaran Rp 3,821 triliun alias analog 7,83 persen dari total kerugian negara.
Mengingat fakta ironi berupa punishment ringan terhadap koruptor konstan terjadi semestinya sisi penindakan dalam proses peradilan mesti diperkuat dan para pemangku kepentingan perlu mendesak alternatif hukuman lain yang kapabel membuat kapok. “Pemiskinan koruptor” tentunya bisa jadi salah satu opsi. Terlebih ide“pemiskinan koruptor”sudah santer terdengar di kalangan publik selama ini. Di sini, “pemiskinan koruptor” pun menjadi begitu relevan sebab hal tersebut memiliki dua aspek, yakni aspek penjeraan di bidang sosial dan ekonomi secara total terhadap pelaku pun familinya serta di sisi lain aspek penyelamatan kerugian keuangan negara cum proteksi korban secara maksimal. Kedua perspektif tersebut telah terakomodasi dalam RUU Perampasan Aset.
Sayangnya nasib RUU Perampasan Aset sampai kiwari masih mandek di meja pimpinan DPR. Padahal publik selama ini sudah acap mengetuk kalbu nurani legislator agar segera mengakselerasi eksistensi payung hukum Perampasan Aset. Diinsafi dengan perangkat hukum a quo hakulyakin hukuman “pemiskinan koruptor” dapat diberlakukan. Ketentuan seperti itu pun sejatinya sungguh krusial dalam koherensinya menguatkan ikhtiar pengembalian aset dari natijah korupsi. Kini sudah saatnya bangsa ini membuktikan bahwasanya negara kita benar-benar serius dalam hal memerangi korupsi.
Pada akhirnya, atas keberadaan RUU Perampasan Asetini diperlukan kemauan politik dari para pengambil kebijakan agar segera diberikan prioritas lantas selanjutnya dibahas syahdan diundangkan. Perihal ini urgen lantaran dengan adanya payung hukum Perampasan Aset maka aparat penegak hukum mempunyai dasar lebih kuat terkait aset-aset koruptor di mana pun aset tersebut disembunyikan sehingga negara kita pun dapat terbebas dari dominasi harta kotor koruptor. (Artikel ini sudah dimuat di rubrik “Opini” Koran Kedaulatan Rakyat edisi 13 September 2024 halaman 11”).