Membentuk Zaken Kabinet, Mungkinkah?

Rencana Prabowo Subianto sebagai presiden terpilih periode 2024-2029 untuk membentuk zaken kabinet, yakni kabinet yang diisi oleh para profesional dan teknokrat di luar struktur partai politik, telah menarik atensi publik dan banyak politisi. Gagasan ini sekilas terdengar sebagai ikhtiar yang terpuji untuk meningkatkan efisiensi serta mereduksi dominasi elite partisan dalam pemerintahan. Namun, seperti semua inovasi dalam sistem politik, rencana ini perlu dikaji secara lebih seksama untuk memahami potensi keunggulannya sekaligus risiko-risiko yang tersembunyi.


Ada beberapa kritik tajam yang perlu dibahas terkait efektivitas dan kesinambungan konsep zaken kabinet dalam konteks politik Indonesia yang unik. Dalam konteks demokrasi, partai politik memainkan peran sentral sebagai jembatan antara kehendak rakyat dan kebijakan pemerintah. Mereka memberikan wadah bagi aspirasi masyarakat dan memastikan bahwa pemerintahan tetap akuntabel terhadap kepentingan publik.


Dengan meminggirkan peran partai dalam pembentukan kabinet, zaken kabinet berpotensi melemahkan mekanisme representasi ini. Padahal, dalam demokrasi yang sehat, proses politik tidak bisa sepenuhnya didominasi oleh teknokrasi. Ia konstan membutuhkan elemen-elemen representasi yang kuat untuk memastikan bahwa kepentingan rakyat dari berbagai latar belakang sosial tetap terwakili.


Dilema
Salah satu premis utama zaken kabinet adalah mengandalkan keahlian teknis untuk menghadapi tantangan kompleks dalam birokrasi pemerintahan. Tetapi, ada dilema lainnya yang kerap mencuat dalam teknokrasi, yakni ketidakmampuan teknokrat untuk beroperasi dalam konteks politik yang dinamis. Apalagi, pemerintahan bukanlah sekadar soal efisiensi, melainkan juga soal bagaimana kebijakan dibuat dan diterima oleh masyarakat.


Profesionalisme yang terpisah dari sensitivitas politik acap kandas memahami kebutuhan dan tuntutan rakyat yang beragam. Di Indonesia, sistem politik multipartai menghasilkan koalisi yang kompleks. Setiap pemerintahan harus bergantung pada dukungan parlemen untuk menjalankan agenda-agenda penting. Dalam kasus zaken kabinet, partai politik yang merasa tersisih dari pengambilan keputusan mungkin akan lebih bertendensi mengambil sikap oposisi yang keras di parlemen.

Hal itu bisa berujung pada kebuntuan politik yang akan menyulitkan pemerintah dalam menjalankan agenda-agendanya. Perdebatan antara kabinet yang diisi oleh profesional dan parlemen yang didominasi oleh politisi partai bisa mengarah pada ketidakstabilan politik yang tak diinginkan. Sekalipun narasi bahwa teknokrat yang diangkat tetap punya relevansi dengan partai politik, tidak ada kepastian bahwa semua partai pendukung akan puas dengan eksistensi teknokrat yang dituntut untuk bertindak profesional tanpa intervensi besar dari partai mereka.


Muskil Direalisasikan

Membangun sebuah zaken kabinet dengan prinsip meritokrasi murni dalam lanskap politik Indonesia kontemporer naga-naganya amat muskil direalisasikan. Musababnya, sistem multipartai di parlemen serta konfigurasi koalisi yang ada menuntut konsekuensi keterlibatan kader partai politik koalisi dalam pemerintahan. Di samping itu, ada kekhawatiran bahwa zaken kabinet menjadikan kesukaran untuk mendapatkan dukungan politik dari DPR yang didominasi oleh partai-partai politik.

Sistem demokrasi Indonesia yang berbasis pada koalisi partai politik membuat kabinet non-partisan menghadapi tantangan dalam ihwal dukungan legislatif. Zaken kabinet lebih gampangnya hanya bisa dibangun dalam sistem presidensial tanpa multipartai, seperti masa Orde Baru di mana hanya ada 'single majority' Golkar dalam pemerintahan. Itu pun bukan zaken kabinet murni karena perenial saja para teknokrat profesional yang direkrut ke kabinet harus 'berlabel' Golkar.

Presiden yang didukung mayoritas tunggal akan leluasa menentukan susunan kabinet tanpa harus memusingkan perwakilan parpol koalisi. Menteri yang dipilih benar-benar mewakili kaum profesional non-parpol koalisi; mereka menduduki kursi menteri atas prestasi di bidangnya masing-masing, bukan atas kompensasi politik tertentu. Jika Prabowo menghendaki kabinet yang seperti ini, pada masa multipartai seperti sekarang, tentunya dibutuhkan mitra-mitra koalisi yang sungguh-sungguh taat, tunduk bahkan pasrah terhadap 'otokrasi' ala Prabowo. Apabila tidak, stabilitas politik bisa terguncang akibat ketidakpuasan dari partai-partai di parlemen. (Artikel ini sebelumnya sudah diterbitkan di rubrik “kolom” detik.com edisi 8 Oktober 2024)


Penulis: Yulianta Saputra, S.H., M.H dosen Prodi Ilmu Hukum FSH UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Baca artikel detiknews, "Membentuk Zaken Kabinet, Mungkinkah?" selengkapnyahttps://news.detik.com/kolom/d-7576343/membentuk-zaken-kabinet-mungkinkah.

Kolom Terkait

Kolom Terpopuler