Dilihat 0 Kali

03_891_WhatsApp Image 2025-07-01 at 13.34.54_07b38b44.jpg

Jumat, 04 Juli 2025 11:11:00 WIB

Ketika Iman Butuh Ruang: Kolaborasi Akademik dan Sipil dalam Merumuskan Regulasi Rumah Ibadah

Yogyakarta, 30/06/2025 Fakultas Syari’ah dan Hukum (FSH) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta bekerja sama dengan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta menyelenggarakan sebuah diskusi publik bertajuk “Merawat Hak KKB: Jalan Panjang Pendirian Rumah Ibadah di Gunungkidul”. Kegiatan ini dilangsungkan di Ruang Technoclass FSH UIN Sunan Kalijaga.

Diskusi yang dihadiri oleh berbagai elemen masyarakat ini menghadirkan narasumber yang kompeten di bidangnya. Hadir sebagai pembicara Heronimus Heron, salah satu penyusun Rancangan Peraturan Bupati (Raperbup) Gunungkidul tentang Pendirian Rumah Ibadah; Pdt. Christiono Riyadi, aktivis Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Gunungkidul; serta Dr. Lindra Darnela, S.Ag., M.Hum., akademisi dari Fakultas Syari’ah dan Hukum. Diskusi ini dimoderatori oleh Firda Imah S dari LBH Yogyakarta, dan dihadiri oleh para peserta dari kalangan komunitas lintas agama, lembaga swadaya masyarakat, hingga unsur pemerintahan.

Kegiatan ini muncul dari keprihatinan atas masih sulitnya umat beragama untuk mendirikan rumah ibadah di berbagai wilayah, termasuk di Kabupaten Gunungkidul. Kendala ini bukan hanya bersifat teknis, tetapi juga menyentuh aspek regulasi dan sosial yang kompleks. Padahal, kebebasan beragama dan beribadah merupakan hak asasi manusia yang dijamin oleh konstitusi maupun hukum internasional.

Konstitusi Indonesia melalui Pasal 28E ayat (1) dan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 menjamin hak setiap warga negara untuk memeluk agama dan beribadah sesuai keyakinannya. Namun dalam kenyataannya, praktik kebebasan ini masih menghadapi berbagai hambatan, terutama terkait regulasi yang mengatur pendirian rumah ibadah. Salah satu regulasi yang sering menjadi sorotan adalah Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (PBM) No. 9 dan 8 Tahun 2006. Alih-alih mempermudah, peraturan ini kerap dianggap menjadi alat pembatas, misalnya dalam bentuk syarat dukungan dari masyarakat sekitar yang tidak selalu mudah diperoleh.

Di Kabupaten Gunungkidul sendiri, tantangan serupa juga terjadi. Namun demikian, wilayah ini juga mencatat sejumlah praktik baik yang layak diapresiasi. Beberapa di antaranya adalah upaya memaknai secara progresif ketentuan syarat 60/90, pendekatan fasilitatif dari pemerintah daerah terhadap kelompok agama minoritas, dan upaya menjaga harmoni antarumat beragama.

Sayangnya, hingga saat ini Gunungkidul belum memiliki regulasi daerah yang secara khusus mengatur pendirian rumah ibadah dengan pendekatan yang inklusif dan partisipatif. Oleh karena itu, LBH Yogyakarta bersama masyarakat sipil mendorong lahirnya Raperbup yang lebih adaptif terhadap konteks sosial Gunungkidul. Raperbup ini diharapkan menjadi pijakan hukum yang lebih manusiawi, demokratis, dan solutif dalam menjamin hak kebebasan beragama.

Diskusi publik ini menjadi bagian dari strategi advokasi yang lebih luas. Selain mendorong perubahan kebijakan, penting pula menyediakan ruang-ruang diskusi yang inklusif dan terbuka. Forum semacam ini menjadi sarana untuk membagikan pengalaman, menggali inspirasi dari wilayah lain, serta memperkuat sinergi lintas sektor dalam menghadapi isu-isu keberagaman.

Dengan menggandeng FSH UIN Sunan Kalijaga, LBH Yogyakarta berupaya menjembatani dunia akademik dan masyarakat sipil dalam upaya memperjuangkan hak-hak konstitusional warga negara. Harapannya, kegiatan ini tidak hanya menjadi wacana, tetapi mampu menghasilkan rekomendasi kebijakan konkret serta memperkuat jaringan advokasi lintas sektor yang berkelanjutan.