Komunitas Pemerhati Konstitusi (KPK) Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga menggelar Seminar Konstitusi pada Sabtu, 15 November 2025, di Convention Hall Lantai 2 kampus setempat. Salah satu pembicara utama dalam kegiatan tersebut adalah Hakim Mahkamah Konstitusi, YM Prof. Dr. Arief Hidayat, S.H., M.S.
Acara dimulai pukul 08.00 WIB dengan pemaparan dari Irgi Ahmad Fahrizi, S.H., peneliti HICON Law & Policy Strategies, yang mengulas pengantar uji materi undang-undang. Sekitar pukul 12.30 WIB, Prof. Arief tiba di lokasi dan disambut oleh Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum, Prof. Dr. H. Ali Sodiqin, M.Ag., serta Wakil Dekan III bidang Kemahasiswaan dan Kerja Sama, Dr. Saifuddin, S.H.I., M.S.I.
Dalam ceramahnya, Prof. Arief menyampaikan sejumlah pandangan penting mengenai negara hukum, Pancasila, serta dinamika legislasi nasional. Ia mengawali dengan penegasan bahwa Negara Pancasila merupakan solusi terbaik bagi bangsa Indonesia yang majemuk. Menurutnya, para pendiri bangsa telah menempatkan dasar-dasar kenegaraan yang kokoh melalui kebijaksanaan, keluasan ilmu, dan sikap kenegarawanan yang tinggi.
Prof. Arief menyebut Indonesia sebagai religious welfare state negara kesejahteraan yang religius berbeda dengan konsep negara kesejahteraan di Barat. Namun ia mengingatkan bahwa praktik penegakan hukum kerap tercoreng oleh oknum yang menjadikan hukum sebagai komoditas. “Berpolitik, berhukum, dan berekonomi harus disinari oleh nilai ketuhanan,” tegasnya.
Ia juga menjelaskan bahwa prinsip equality before the law tidak berarti semua orang diperlakukan sama oleh penegak hukum tanpa melihat konteks. Menurutnya, aparat hukum harus membangun sistem hukum yang berkarakter Pancasila dan berkeadilan substantif.
Lebih jauh, ia mengulas fenomena baru dalam legislasi nasional seperti omnibus law dan fast track legislation. Contoh paling menonjol adalah Undang-Undang Cipta Kerja dan Undang-Undang TNI. Prof. Arief menilai bahwa perhatian masyarakat tidak boleh hanya tertuju pada hilir, yakni uji materi undang-undang, tetapi juga pada hulu: proses pembentukannya. “Fast track legislation sering mengabaikan meaningful participation, padahal masyarakat memiliki hak untuk didengar, hak untuk dipertimbangkan, dan hak untuk memperoleh penjelasan,” jelasnya.
Pada sesi berikutnya, Prof. Arief memaparkan perkembangan hukum acara di Mahkamah Konstitusi, termasuk keberlakuan PMK Nomor 7 Tahun 2025 tentang Tata Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang. Ia menekankan pentingnya penyusunan permohonan yang runtut mulai dari posita hingga petitum serta memperhatikan dasar kerugian konstitusional, baik aktual maupun potensial. Selain itu, pemohon wajib menunjukkan legal standing yang relevan dan mengkaji putusan-putusan MK sebelumnya dengan menghadirkan argumentasi baru.
Pemaparan Prof. Arief berlangsung padat dan intens tanpa jeda panjang. Acara kemudian dilanjutkan dengan sesi tanya jawab. Menariknya, seluruh penanya pada sesi tersebut adalah peserta perempuan. Prof. Arief mengapresiasi kualitas pertanyaan mereka yang dinilainya sangat berbobot dan kritis.