Hainan, Tiongkok, 17/05/2025 Dr. Misbahul Mujib, dosen Hukum Internasional di UIN Sunan Kalijaga, diundang sebagai pembicara dalam konferensi internasional bertajuk “Kondisi Laut China Selatan: Perkembangan Hukum dan Politik Terkini” . Konferensi ini merupakan hasil kerja sama antara Zhongnan University of Economics and Law (Wuhan), sejumlah universitas terkemuka di Tiongkok, serta pemerintah Provinsi Hainan yang berbatasan langsung dengan wilayah Laut China Selatan.
Kegiatan ini berlangsung selama satu hari penuh dan dihadiri oleh 27 pakar hukum laut dan profesor dari berbagai perguruan tinggi di Tiongkok. Dr. Misbahul Mujib menjadi satu-satunya pembicara dari luar negeri yang mendapat kesempatan menyampaikan pandangannya. Dalam presentasinya yang berjudul “Tantangan Code of Conduct (COC) Laut China Selatan: Aspek Geografis dan Keterlibatan Kekuatan Eksternal”, beliau memaparkan kompleksitas dinamika kawasan tersebut.
Sebagai doktor hukum internasional lulusan Tiongkok, Dr. Misbah menjelaskan bahwa Laut China Selatan merupakan kawasan yang sangat strategis, baik dari sisi perdagangan global maupun kekayaan sumber daya alamnya. Oleh karena itu, negara-negara yang mengklaim wilayah di kawasan ini tidak akan dengan mudah melepaskan klaimnya, karena masing-masing merasa memiliki dasar hukum (legitimasi yuridis) atas wilayah tersebut. Dalam pandangan beliau, konflik di kawasan ini sulit untuk benar-benar diselesaikan secara permanen, karena karakteristik hukum internasional yang bersifat sukarela (voluntary), bukan memaksa.
Dr. Misbah juga menyoroti keterlibatan kekuatan eksternal seperti Amerika Serikat, Jepang, Australia, dan Inggris, yang juga memiliki kepentingan strategis terhadap jalur pelayaran dan perdagangan yang melintasi Laut China Selatan. Keterlibatan mereka menambah kompleksitas persoalan yang ada. Dalam paparannya, Dr. Misbah menegaskan bahwa stabilitas kawasan harus menjadi prioritas. Ia mengkritisi kecenderungan negara-negara untuk memamerkan kekuatan militer, yang justru memperburuk ketegangan politik. Sebagai alternatif, beliau mendorong upaya kolaboratif yang lebih konstruktif, seperti kerja sama militer untuk tujuan damai, kerja sama keamanan laut dalam menghadapi ancaman pembajakan, terorisme, penyelundupan narkoba dan manusia, serta pengelolaan lingkungan laut dan sumber dayanya secara bersama.
Ia juga menyarankan agar ASEAN dan Tiongkok membangun kemitraan yang proporsional dengan membedakan negara-negara yang terlibat langsung dalam klaim wilayah dan yang tidak. Negara-negara yang bersengketa dapat belajar dari berbagai contoh perjanjian kelautan yang berhasil di kawasan lain, seperti di Laut Baltik, Laut Mediterania, dan Laut Arktik, untuk dijadikan referensi dalam menyusun dan menerapkan Code of Conduct di Laut China Selatan. (tq)