Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga bekerja sama dengan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta menggelar Training Advokasi Hukum Berperspektif Gender pada 18–20 Juni 2025. Kegiatan ini berlangsung di Ruang 108 Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga.
Pelatihan ini digagas sebagai respons atas kenyataan pahit yang masih dialami perempuan ketika berhadapan dengan hukum. Mereka sering kali menjadi korban dari sistem yang timpang, terjebak dalam diskriminasi berlapis—mulai dari stereotip gender, stigma sosial, hingga perlakuan yang tidak setara selama proses hukum. Bahkan, banyak perempuan yang sejatinya adalah korban relasi kuasa, justru diposisikan sebagai pelaku dalam proses peradilan. Tak hanya dalam perkara pidana, ketimpangan serupa juga terjadi dalam kasus perdata, akibat peran gender yang menempatkan perempuan dalam posisi rentan di masyarakat.
Meski kesadaran publik terhadap kekerasan terhadap perempuan terus meningkat, pertanyaan penting masih perlu diajukan: apakah sistem hukum dan aparat penegak hukum benar-benar berpihak pada korban, khususnya perempuan?
Pelatihan ini memiliki tiga tujuan utama:
-
Meningkatkan kapasitas advokat dan pembela HAM dalam memberikan pendampingan hukum yang sensitif terhadap kebutuhan perempuan berhadapan dengan hukum (PBH).
-
Membangun pendekatan advokasi hukum yang tidak hanya adil, tetapi juga empatik dan transformatif.
-
Mengintegrasikan perspektif feminis dan hak asasi manusia ke dalam strategi pendampingan kasus PBH.
Melalui pelatihan ini, para peserta diharapkan mampu menerapkan pendekatan hukum yang lebih berpihak pada korban, dengan memahami konteks sosial-budaya, menggali relasi kuasa, dan menyadari sejarah panjang ketidakadilan yang dialami perempuan dalam sistem hukum.
Peserta pelatihan berasal dari berbagai latar belakang agama, etnis, dan kelompok masyarakat, mencerminkan semangat inklusivitas kegiatan ini. Dalam sambutannya pada pembukaan acara, Direktur LBH Yogyakarta menyoroti pentingnya pelatihan ini. Ia membagikan pengalaman pribadinya saat mendampingi korban kekerasan seksual, di mana justru dirinya yang dilaporkan ke polisi dan ditetapkan sebagai tersangka. Jika seorang advokat bisa mengalami hal seperti itu, bagaimana nasib orang-orang yang tidak memiliki latar belakang hukum? Padahal, peraturan seperti UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) telah secara jelas mengatur perlindungan terhadap korban.
Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga dalam sambutannya menyampaikan apresiasi atas kolaborasi ini. Ia menegaskan bahwa fakultasnya merupakan lembaga yang menjunjung tinggi nilai inklusivitas. Kegiatan ini, menurut beliau, merupakan wujud nyata dari pelaksanaan Tri Dharma Perguruan Tinggi. UIN Sunan Kalijaga, lanjutnya, telah berkomitmen menjadi kampus yang inklusif, ramah terhadap kelompok difabel dan minoritas, serta berdiri teguh sebagai kampus bermartabat yang menolak segala bentuk kekerasan seksual.
Pelatihan ini berlangsung selama tiga hari dengan materi yang disusun secara berjenjang. Hari pertama membahas perspektif gender bagi pendamping hukum, hari kedua fokus pada identifikasi kasus dan strategi pendampingan, dan hari ketiga ditutup dengan penyusunan dokumen hukum, etika profesi, serta rencana pendampingan yang holistik.
Dengan pelatihan ini, diharapkan lahir pendamping hukum yang tidak hanya paham aspek legal, tetapi juga memiliki kepekaan sosial dan keberpihakan pada korban—menuju sistem hukum yang lebih adil, manusiawi, dan berpihak pada keadilan substantif.