Dilihat 0 Kali

UIN SUKA

Jumat, 04 Juli 2025 15:17:00 WIB

PENENTUAN AWAL BULAN QAMARIYYAH SEPANJANG KETENTUAN SYARA’

Seperti telah dimaklumi, pelaksanaan berbagai bentuk peribadatan dalam Islam dikaitkan dengan kalender Qamariyyah. Allah berfirman:

يسئلونك عن الأهلة قل هى مواقيت للناس والحج 

Artinya: Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji.

 

Sesuai dengan penegasan Nabi dalam haditsnya, yang didukung pula oleh kenyataan empirik, jumlah hari dalam satu bulan qamariyyah tidak kurang dari 29 hari dan tidak lebih dari 30 hari. Dengan demikian, maka penentuan awal bulan qamariyyah yang ditandai dengan terbitnya hilal bergantung kepada umur bulan qamariyyah sebelumnya. Terutama dalam penentuan awal bulan Ramadlan dan Syawwal, masalah usia bulan lama dan awal bulan baru ini sangat dirasakan arti pentingnya oleh umat Islam, karena adanya penegasan Nabi dalam berbagai haditsnya, antara lain:

الشهر يكون تسعة وعشرين ويكون ثلاثين فإذا رأيتموه فصوموا وإذا رأيتموه فأفطروا فإن غم عليكم فأكملوا العدة  

 

“Satu bulan itu ada yang 29 hari dan ada pula yang 30 hari. Maka apabila kamu melihat (awal) bulan, berpuasalah. Dan apabila kamu melihatnya berhari rayalah. Jika penglihatanmu tertutup oleh awan, maka sempurnakanlah bilangan itu.”

 

Berdasarkan ketentuan hadits tersebut dan hadits-hadits yang senada, kaum Muslimin sejak masa Nabi memegangi dua cara dalam memulai dan mengakhiri ibadah puasa Ramadlan, yakni dengan:

1. Melihat hilal tanggal 1 Ramadlan untuk memulai kewajiban puasa, dan melihat hilal tanggal 1 Syawwal untuk berhari raya. Hal ini lazim disebut dengan istilah ru’yah al-hilal atau ru’yah.

2. Menyempurnakan bilangan hari bulan Sya’ban menjadi 30 hari untuk memulai puasa Ramadlan dan menyempurnakan bilangan hari bulan Ramadlan menjadi 30 hari untuk berhari raya ‘Idul Fithri. Cara ini terkenal dengan sebutan ikmal atau istikmal yang terpaksa harus ditempuh, karena hilal tidak dapat diru’yah pada malam ketiga puluh dari bulan Sya’ban atau Ramadlan.

Seperti ditegaskan oleh Yusuf al-Qardhawi, dengan ketentuan seperti ini, Rasulullah telah mensyari’atkan cara yang alami dan mudah bagi seluruh umat yang pada waktu itu memang merupakan umat yang ummi yang tidak pandai baca tulis dan berhitung secara ilmu hisab. Kenyataan ini jelas merupakan rahmat bagi umat, karena Allah tidak membebani mereka untuk mempraktekkan ilmu hisab yang tidak mereka kuasai. Andaikata mereka dibebani kewajiban semacam itu, niscaya mereka akan bergantung kepada umat agama lain yang relatif lebih menguasai ilmu itu. Bahkan dapat juga dikatakan bahwa seandainya mereka dibebani kewajiban menggunakan perhitungan hisab, berarti telah terjadi taklif ma la yuthaq (pembebanan sesuatu yang berada di luar jangkauan kemampuan manusia). Hal ini jelas tidak dapat diterima, karena tidak sejalan dengan penegasan Al-Qur’an:

لايكلف الله نفسا إلا وسعها 

Artinya: Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.

 

Praktek penentuan awal Ramadlan dan Syawwal berdasarkan salah satu dari ru’yah atau istikmal berlangsung terus sampai tiba saatnya perkembangan ilmu hisab di kalangan kaum Muslimin mulai menampakkan kemajuan. Sejak saat itulah muncul gagasan untuk menjadikan perhitungan hisab sebagai cara baru dalam penetapan awal bulan. Nampaknya hal ini berlangsung sejak masa tabi’in, seperti terbukti dari munculnya pendapat di kalangan mereka tentang penggunaan hisab itu. Dalam Bidayah al-Mujtahid misalnya, Ibn Rusyd mengutip pendapat Mutharrif ibn al-Syukhair¾salah seorang tokoh tabi’in tentang kebolehan merujuk kepada perhitungan hisab. Bahkan dikutip pula riwayat Ibn Suraij dari Al-Imam al-Syafi’i yang membenarkan orang yang berpuasa berdasarkan perhitungan ilmu hisab (al-istidlal bi al-nujum wa manazil al-qamar).

Sejalan dengan semakin maju dan canggihnya perkembangan ilmu hisab pada masa-masa sesudahnya terutama pada masa-masa terakhir ini dapat dipahami apabila tuntutan untuk memberlakukan hasil perhitungan hisab dalam penetapan awal bulan Ramadlan dan Syawwal semakin kuat. Hal itu tidak saja muncul dalam bentuk menempatkan hisab sebagai pendamping ru’yah, melainkan juga dalam bentuk sikap menempatkan hisab sebagai ”penggusur” ru’yah, khususnya ketika terjadi perbedaan dan pertentangan antara hasil ru’yah dengan perhitungan hisab. Terjadinya perbedaan di antara umat Islam di Indonesia dalam memulai puasa Ramadlan dan berhari raya ’Idul Fithri pada beberapa tahun yang lalu dapat dipahami dalam konteks semacam ini.

Makalah yang bersahaja ini tidak dimaksudkan untuk mempertajam perbedaan pendapat yang terjadi, melainkan sekedar untuk menjelaskan duduk persoalan yang diperselisihkan, dan sedapat mungkin berupaya mencari titik temu dari perbedaan itu.

II

 

Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, pedoman asli penentuan awal bulan Ramadlan dan Syawwal dalam Islam adalah ru’yah dan istikmal, sesuai dengan penegasan hadits-hadits shahih yanag salah satunya telah dikutip di awal makalah ini. Dengan demikian keberadaan ru’yah dan istikmal sudah merupakan kesepakatan semua pihak (muttafaq ’alaih).

Hal ini berbeda dengan hisab yang keberadaannya sebagai cara untuk menentukan awal bulan Ramadhan dan Syawwal masih diperselisihkan oleh para ulama (mukhtalaf fih). Mayoritas ulama (jumhur) tidak mengakui keberadaannya sebagai penentu awal bulan. Hal ini didasarkan pada keterangan hadist-hadist Nabi seperti ditegaskan oleh Al-Hafidh Ibnu Hajar:

بل ظاهر السياق يشعر بنفى تعليق الحكم بالحساب أصلا, ويوضحه قوله فى الحديث الماضى "فإن غم عليكم فأكملوا العدة ثلاثين" ولم يقل: فاسئلوا أهل الحساب.

 

”Bahkan dhahir konteks pembicaraan memberi pengertian bahwa hukum (puasa) sama sekali tidak dikaitkan dengan hisab. Hal ini diperjelas oleh sabda Nabi dalam hadist yang lalu: ”jika kamu tertutup awan, maka sempurnakanlah bilangan bulan 30 hari”. Beliau tidak bersabda: ”maka tanyakanlah kepada ahli hisab”.

 

Di samping itu, dari hadis-hadis yang dimaksud dapat ditarik kesimpulan bahwa yang menjadi pegangan dalam penetapan awal Ramadhan dan Syawwal adalah dapat diru’yahnya hilal, bukan adanya hilal di atas ufuq. Dalam ungkapan Arab dapat dirumuskan:

العبرة برؤية الهلال لا بوجوده

”Yang menjadi pegangan adalah terlihatnya hilal, bukan adanya hilal”.

 

Hal ini disebabkan adanya perintah Nabi untuk istikmal ketika langit diselimuti awan, padahal mungkin saja pada waktu itu hilal sudah berada di atas ufuq.

Di lain pihak para ulama yang mengakui keberadaan hisab sebagai penentu awal Ramadhan dan Syawwal mengajukan berbagai argumentasi untuk mendukung pendapat mereka. Sebagian argumentasi itu bersifat murni rasional sedangkan sebagian yang lain merupakan bentuk pemahaman alternatif terhadap nash.

Termasuk dalam pengertian argumentasi rasional ialah pengungkapan mereka tentang kecanggihan dan akurasi perhitungan hisab. Meminjam istilah ushul al-fiqh, hasil perhitungan hisab dianggap sebagai sesuatu yang qath’i (pasti). Di kalangan ulama-ulama, hal ini dapat dibaca dalam ungkapan Taqi al-Din al-Subki (756 H.) salah seorang ulama besar Syafi’iyyah ketika menolak kesaksian orang yang meru’yah hilal apabila perhitungan hisab menyatakan tidak mungkinnya hilal untuk diru’yah (adam imkan al-ruyah). Ia menulis antara lain:

...لأن الحساب قطعى والشهادة والخبر ظنيان, والظن لايعارض القطع فضلا عن أن يقدم عليه 

 

”...karena sesunguhnya hisab itu bersifat qath’i sedangkan kesaksian dan berita bersifat dhanni. Sesuatu yang bersifat dhanni tidak boleh menyalahi sesuatu yang bersifat qath’i, apalagi untuk lebih didahulukan.”

 

Adapun argumentasi yang berupa pemahaman alternatif terhadap nash, antara lain nampak pada upaya memahami kata ru’yah tidak dalam arti melihat dengan mata kepala (ru’yah bi al-fi’il) melainkan dalam arti melihat dengan akal pikiran (ru’yah bi al-’aql) melalui hasil perhitungan ilmu hisab. Dengan demikian kata ru’yah menunjuk kepada pengertian imkan al-ruyah (adanya kemungkinan hilal dapat diru’yah) seperti dikemukakan oleh Al-Qalyubi (849 M.) salah seorang ulama Syafi’iyyah. Dengan demikian, awal Ramadlan dan Syawwal dapat ditetapkan dengan hasil perhitungan hisab falak qath’i yang menyatakan demikian.

Demikian pula terhadap kalimat faqduru lah yang terdapat dalam hadits-hadits Nabi dalam kaitannya dengan terjadinya awan sehingga hilal tidak terlihat, ulama pendukung hisab mengartikannya dengan: ”maka hitunglah hilal itu berdasarkan ilmu hisab” (adduh bi al-hisab).

Imam Abu al-’Abbas ibn Suraij (306 H.)¾seperti dikutip oleh Ibn al-‘Arabi¾mengajukan cara pengkompromian antara hadits-hadits yang menggunakan kalimat faqduru lah (maka kadarkanlah ia) dengan hadits-hadits yang menggunakan kalimat fa akmilu al-iddah (maka sempurnakanlah bilangan bulan itu) dengan menyatakan:

...أن قوله "فاقدروا