Presidential Threshold Digugat, Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum Ambil Peran

Sidang Pengujian Materiil Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 kembali dilakukan pada hari Rabu, 13 November 2024 di Mahkamah Konstitusi. Sidang ini merupakan sidang ke VII atas judicial review Perkara Nomor 62/PUU-XXII/2024 yang diajukan oleh empat Mahasiswa Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Keempat mahasiswa tersebut adalah: Enika Maya Oktavia, Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq, dan Tsalis Khoirul Fatna. Keempat mahasiswa tersebut merupakan anggota dari Komunitas Pemerhati Konstitusi (KPK), lembaga otonom mahasiswa di Fakultas Syari’ah dan Hukum. Pada sidang tersebut Rizki dan Faisal hadir secara langsung, sedangkan Enika dan Tsalis hadir melalui teleconference.

Sidang dibuka pukul 14.02 WIB oleh Hakim Ketua Suhartoyo, dengan agenda mendengarkan penjelasan dari DPR, Presiden, Partai Politk Nasional Peserta Pemilu, yakni Partai Kebangkitan Nusantara (PKN) dan Perindo, serta keterangan ahli dari pemohon yaitu Dr. Yance Arizona, S. H., M. H., M.A. Menurut keterangan pihak PKN, Pasal 222 UU Pemilu sangat bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2), Pasal 22E ayat (1), Pasal 27 ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak melindungi dan memberikan hak yang sama untuk semua partai politik peserta pemilu presiden dan wakil presiden. Sedangkan pihak Perindo berpandangan bahwa dalam membangun koalisi partai politik, mestinya terjadi secara alamiah dan strategis sesuai dengan kepentingan partai itu sendiri bukan karena mekanisme struktural. Perindo berkesimpulan untuk mendukung petitum permohonan pemohon supaya ke depan lebih banyak opsi calon-calon presiden yang punya potensi memimpin bangsa.

Dr. Yance Arizona, S. H., M. H., menyampaikan keterangannya sebagai ahli dengan judul: “Saatnya Mahkamah Konstitusi Mengganti Abusive Judicial Review Menjadi Responsive Judicial Review Dalam Pengujian Ketentuan Presidential Candidacy Threshold.” Menurutnya, Pasal 222 UU Pemilu menjadi ketentuan yang paling sering diuji sejak MKRI didirikan, hal ini menunjukkan bahwa ketentuan tersebut memiliki persoalan konstitusional. Masyarakat memiliki harapan besar kepada MK untuk mengoreksi ketentuan yang menghambat mekarnya demokrasi. Upaya menghapus ketentuan a quo agar lebih demokratis dan kompetitif selalu mengalami jalan buntu. Sehingga, masalah ini merupakan Democracy Blind Spot, dimana masalah tidak terlihat atau diabaikan oleh proses demokasi.

Di samping itu, pertentangan dalam Pertimbangan Hukum Mahkamah terkait pasal a quo menunjukkan kecenderungan pro dan kontra dalam dissenting opinion. Pandangan dissenting bukanlah hal yang inkonstitusional, dissenting menjadi pandangan yang dikalahkan dengan mekanisme pandangan mayoritas komposisi hakim yang menentukan amar putusan. Praktik overruling dalam Pengujian Undang-Undang (PUU) digunakan dalam hal menguji relevansi pertimbangan sebelumnya. Apakah pertimbangan yang sebelumnya masih relevan dan patut dipertahankan atau malah sebaliknya. Bila pertimbangan lama sudah tidak relevan, maka Mahkamah dapat mengesampingkan pertimbangan dari putusan sebelumnya dan memberikan pertimbangan baru untuk memberikan makna konstitusionalitas suatu norma ke depannya.

Prinsip Pemilu Demokratis sebagai Tolak Ukur untuk Meninjau Ulang Pendirian Mahkamah. Pertama, original intent UUD 1945 menghendaki Pemilu Serentak di satu tahun yang sama. Sehingga, penggunan basis kursi dan suara sah pemilu sebelumnya bertentangan dengan prinsip keserentakan pemilu. Kedua, pasal a quo sebabkan electoral monopoly yang langar prinsip persaingan bebas dan adil antarkntestan pemilu dalam konstruksi Pemilu Demokratis. Ketiga, ambang batas pencalonan tidak sejalan dengan prinsip Open Legal Policy, angka yang tinggi tanpa metode yang jelas telah melanggar prinsip rasionalitas, dan melanggar prinsip rasionalitas; dengan dan ketidakadilan yang intolerable karena telah menghilangkan hak partai politik baru menjadi peserta pilpres karena didasarkan pada hasil pemilu sebelumnya. Keempat, bahwa pasal a quo telah mengakibatkan pertentangan dengan rasionalitas yang berkeadian (predictable procedure, unpredictable result) bila dikaitkan dengan alasan mencapai efektivitas pemerintahan presidensil. Sebab, argumen mencapai efektivitas pemerintahan presidensil akan rasional bila pemilu DPR dilaksanakan dahulu dan menjadi basis pencalonan presiden kemudian. Kelima, bahwa efektivitas pemerintahan lebih ditentukan melalui koalisi pemerintahan pasca pilpres. Yance Arizona memaparkan data perbandingan praktek empiris antara koalisi pencalonan dengan koalisi pemerintahan. Data menunjukkan bahwa koalisi pemerintahan selalu lebih besar dibandingkan koalisi pencalonannya. Sehingga argument yang mengkhawatirkan terjadinya presiden dengan dukungan minor di parlemen tidak pernah ditemukan bukti empirisnya (dst.).

Dr. Yance berpandangan bahwa mempertahankan Pasal 222 UU Pemilu adalah Praktik Abusive Judicial Review. Abusive judicial review adalah praktik judicial review yang disalahgunakan oleh pengadilan untuk memperkuat kekuasaan rezim otoriter atau menekan nilai-nilai demokratis, bukannya melindungi hak-hak individual atau mempertahankan prinsip demokrasi. Abusive Judicial Review harus dilawan dengan Responsive Judicial Review untuk menyelamatkan pemilu demokratis. Responsive Judicial Review tegak dengan 5 karakteristik: penguatan demokrasi, penafsiran konstitusi yang progresif, keseimbangan antara stabilisasi dan perubahan, responsif terhadap isu global, dan perlindungan terhadap hak-hak dasar.

Setelah keterangan ahli selesai disampaikan, Hakim Konstitusi Arief Hidayat menyampaikan pandangan berbeda terkait keterbelahan pro dan kontra mahkamah dalam perkara presidential candidacy threshold. Kemudian dilanjutkan Hakim Konstitusi Saldi Isra yang merekomendasikan ahli untuk menambahkan keterangan terkait contoh praktik overruling.

Sebelum ditutup, Hakim Ketua Suhartoyo menyampaikan kepada para Pemohon Perkara 62/PUU-XXII/2024 apabila masih ada ahli maka bisa disampaikan tetulis bersama dengan kesimpulan, karena mengingat ini adalah sidang terakhir. Sidang ditutup pada pukul 15.01