Mendongkrak IPK
Tahun 2020 yang baru saja berlalu ternyata menunjukkan wajah suram bagi pemberantasan korupsi di Indonesia. Sebagaimana diketahui, skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK) 2020 yang baru saja dilansir Transparency International (TI) memberikan eksplanasi nasib eradikasi korupsi yang tidak menentu dan bahkan mengalami deteriorasi. Skor IPK dan peringkat mondial Indonesia turun drastis dari mulanya skor 40 pada tahun 2019 menjadi hanya 37 pada 2020. Sementara itu, rangking global Indonesia yang tadinya berada pada posisi 85 dunia kembali jeblok menjadi 102 dari 180 negara disurvei. Skor IPK Indonesia tahun 2020 tesebut malahan lebih rendah dari IPK Timor Leste sebesar 40 yang berada di urutan 86. Indonesia pun tercatat pada peringkat yang memiliki paritas dengan Gambia.
Survei tersebut dilakukan sejak awal 2020 hingga Oktober 2020. Terdapat tiga indikator dalam IPK Indonesia, yakni ekonomi dan investasi yang mengalami stagnasi serta tendensinya menyusut; penegakan hukum dengan kualitas nan stagnan; politik dan demokrasi mengalami penurunan skor yang artinya sektor politik masih rentan terhadap korupsi.
Data TI a quo sudah menandaskan bahwa politik hukum pemerintah semakin menjauh dari agenda penguatan pemberantasan korupsi. Untuk itu, merosotnya skor IPK 2020 Indonesia semestinya menjadi koreksi keras bagi beleid pemberantasan korupsi Pemerintah yang selama ini diambil sejatinya telah memperlemah agenda pemberantasan korupsi. Skor IPK 2020 juga dengan sendirinya membantah seluruh klaim pemerintah yang menarasikan penguatan KPK dan pemberantasan korupsi.
IPK sebagai pendekatan ilmiah memang telah direkognisi secara universal sebagai instrumen untuk menakar konstelasi korupsi di sebuah negara. Gambaran IPK menjadi krusial dalam konteks Indonesia mengingat hingga kontemporer, kita masih berjibaku secara konstan untuk memberantas korupsi.
Sangat mungkin apabila ikhtiar pemberantasan korupsi mengalami deklinasi, pada 2021 atau tahun sesudahnya, IPK Indonesia kembali anjlok. Melorotnya IPK Indonesia niscaya dapat dibaca sebagai kandasnya pemerintah dalam pengetrapan program eradikasi korupsi secara lebih masif.
Untuk mendongkrak IPK, beberapa tugas berat yang mutlak segera diimplementasikan ialah, pertama, penegak hukum secara keseluruhan, termasuk yudikatif dengan KPK yang diharapkan sebagaitriggerpemberantasan korupsi, mesti mampu tanpa pandang bulu dan tebang pilih lekas mengungkap dan menghukum siapa pun yang terlibat, terlebih korupsi kelas kakap yang berdampak sistemis dan memberikan samsara pada jamak orang.
Kedua, reformasi birokrasi harus terus digenjot dan tidak sebatas diskursus dan konsep. Pencanangan zona integritas menuju wilayah bebas KKN oleh beberapa instansi pemerintah di tingkat pusat dan daerah selama ini wajib segera diejawantahkan dengan aksi yang riil.
Ketiga, peningkatan pelayanan publik (public service) oleh penyelenggara pelayanan pada semua jenis layanan yang dikuasai dan diselenggarakan negara melalui pelbagai upaya perbaikan harus terus dilakukan. Karena, selama ini dianggap sebagai pintu masuk utama perilaku koruptif penyumbang terbesar rendahnya IPK.
Keempat, siapa pun yang dianggap sebagai pemimpin di negeri ini kiranya senantiasa hadir tanpa diminta atau dipaksa sebab tugas pemimpin ialah menuntaskan semua problematik, termasuk masalah korupsi, sehingga berujung kepada kesejahteraan rakyat.
Penurunan IPK Indonesia ini harus menjadi atensi bagi kita semua agar dapat meningkat lagi di tahun yang akan datang. Apapun alasannya, anjloknya skor ini tak bisa dimaklumi begitu saja. Kondisi pagebluk Covid-19 bukan premis untuk mengabaikan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) dan menurunkan kontrol terhadap perilaku koruptif. Peningkatan IPK Indonesia semestinya tetap diprioritaskan via pelbagai kebijakan strategis dengan mempermudah pelayanan, baik dari sisi ekonomi serta investasi maupun politik dan demokrasi. Bagaimanapun, kita tidak boleh membiarkan korupsi menjelma menjadi ancaman paling mematikan bagi kelangsungan hidup negeri ini. Sebab jikalau ‘wabah’ korupsi tetap dibiarkan menggerogoti bangsa ini, keruntuhan negara niscaya sangat berpotensi terjadi.
Ditulis Oleh : Yulianta Saputra, S.H., M.H.
Dosen Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta
(Sudah pernah diterbitkan di kolom Analisis Surat Kabar Kedaulatan Rakyat, edisi 13 Februari 2021 halaman 1 bersambung ke halaman 7)