Sonder Gratifikasi

Tanggal 13 Mei 2021 esok, kita akan merayakan hari Raya Idul Fitri atau yang di Indonesia juga dikenal dengan sebutan hari Lebaran. Hari Lebaran adalah masa yang bertepatan dengan masuknya bulan yang baru, yaitu bulan Syawal. Di Indonesia, hari Lebaran, seperti juga hari-hari besar keagamaan lainnya, dirayakan meriah dengan pelbagai pernak-perniknya dan ditandai pula dengan acara keagamaan yang khidmat.

Berkait-kelindan dengan perihal itu, akan lebih lengkap, bila dalam rangka metamorfosa manusia menjadi insan nan lebih baik, ada ketentuan resmi dalam kaitan membersihkan Idul Fitri dari noda kasus korupsi. Ketentuan tersebut dimaksudkan sebagai tindakan preventif terkait pemberian gratifikasi dalam bentuk parsel atawa bingkisan lebaran di hari raya.

Sebagaimana dimafhumi, belum lama ini KPK telah menerbitkan Surat Edaran (SE) Nomor 13 tahun 2021 tentang Pencegahan Korupsi dan Pengendalian Gratifikasi terkait Hari Raya. Dalam SE tersebut, KPK mengingatkan kepada para pejabat negara bahwa gratifikasi terkait lebaran itu bisa ditindak secara pidana. Masih merujuk pada SE a quo, KPK pun menandaskan terhadap para penyelenggara negara jua pegawai negeri bahwa permintaan dana dan/atau hadiah sebagai tunjangan hari raya (THR) atau dengan sebutan lain oleh pegawai negeri maupun penyelenggara negara, baik secara individu ataupun atas nama institusi merupakan perbuatan yang dilarang serta dapat berimplikasi pada tindak pidana korupsi.

Langkah KPK tersebut niscaya sangat positif dan tentunya patut diapresiasi. Terlebih ihwal gratifikasi itu sejatinya juga sudah diatur dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Yang mana terkait pemberi dan penerima dapat dijerat jika merunut pada kasus gratifikasi. Sebab disinyalir dengan gratifikasi tersebut, dapat mempengaruhi secara langsung ataupun tidak langung atas beleid dari pejabat atau pemerintahan.

Syahdan, jikalau pejabat sudah terlanjur masih mendapatkan parsel ataupun bingkisan lebaran dari mitra usaha atau pihak tertentu, lebih baik sesuai dengan regulasi gratifikasi di UU KPK, maka pejabat tersebut wajib melaporkan pemberian gratifikasi tersebut kepada KPK dalam waktu kurang dari 30 hari, terhitung semenjak ia menerima pemberian itu. Ihwal ini juga dapat meminimalisir konflik kepentingan (conflict of interest) dan memberikan pembelajaran kepada pemberi gratifikasi yang tidak seluruhnya berniat tulus.

Karena sekecil apa pun nilai uang atau barang pemberian, tetap bukan hak penyelenggara negara yang bersangkutan. Tuntutan ancaman hukuman tindak pidana gratifikasi adalah pidana seumur hidup, dan paling singkat empat tahun, serta pidana denda paling sedikit Rp 200 juta, jua paling banyak Rp 1 miliar. Dimasukkannya gratifikasi sebagai salah satu tindak pidana korupsi merefleksikan bahwa politik hukum pidana (criminal law policy) terkait pemberantasan korupsi sangat ”secure” dalam memberikan penilaian perilaku seorang penyelenggara negara.

Dengan pertimbangan bahwa penyelenggara negara seyogianya menjadi anutan dari masyarakatnya dan bukan sebaliknya. Bagaimanapun, nilai-nilai di balik ketentuan gratifikasi adalah integritas (integrity), akuntabilitas (accountability), kejujuran (honesty) dan adil (fairness) dalam tata kelola pemerintahan. Nilai dibalik ketentuan gratifikasi adalah bahwa setiap penerimaan oleh penyelenggara negara atau abdi negara, dalam bentuk dan nilai seberapa pun adalah tidak layak, tidak patut dan perbuatan tercela, selain penerimaan gajinya. Karena gratifikasi tersebut merupakan ”keuntungan yang tidak patut/tercela” (undue advantage).

Akhirnya, semoga spirit dalam berlebaran di tahun 2021 ini, hati kita mampu kembali suci sonder dinodai dengan adanya gratifikasi yang memang sudah dilarang oleh hukum dan perundang-undangan kita. Dengan demikian, Hari Raya kali ini semestinya mampu melahirkan atma yang kian sakral dan notabene sebagai perbaikan menjadi manusia nan afdal.

Ditulis oleh: Yulianta Saputra, S.H., M.H.

Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

(Artikel ini sebelumnya sudah pernah diterbitkan di kolom Analisis Surat KabarKedaulatan Rakyat, edisi 11 Mei 2021 halaman 1 bersambung ke halaman 8)

Kolom Terkait

Kolom Terpopuler