Dilihat 0 Kali

03_253_Untitled.png

Kamis, 29 Mei 2025 08:07:00 WIB

Bicara HAM Bukan Sekadar Simbol: Indonesia Belum Tuntas Ratifikasi

Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta menggelar kuliah tamu daring dengan menghadirkan Komisioner Komnas HAM, Anis Hidayah, sebagai narasumber. Kegiatan ini diselenggarakan untuk memperkaya wawasan akademik mahasiswa, khususnya dalam mata kuliah Hukum Internasional. Kuliah tamu ini berlangsung pada Sabtu (24/5/2025) dengan tema “Dinamika HAM Internasional”Dalam pemaparannya, Anis mengajak mahasiswa untuk menelusuri sejarah lahirnya Hak Asasi Manusia (HAM). Ia memulai dengan pertanyaan filosofis yang menggugah: Apakah HAM merupakan hak kodrati yang melekat sejak lahir, atau lahir sebagai respons terhadap pelanggaran dan ketidakadilan?

Sejarah Lahirnya Konsep HAM

Menurut Anis, HAM bukanlah hak yang serta merta diakui oleh semua peradaban sejak awal. Justru, konsep ini lahir melalui perjalanan sejarah yang penuh penderitaan, penindasan, dan penyalahgunaan kekuasaan. Ia menjelaskan bahwa proses kelahiran HAM setidaknya melibatkan lima tahap: adanya penindasan, penemuan hak, pengakuan, kodifikasi dalam hukum, dan penegakan.

Anis juga menyebutkan tiga tonggak penting dalam sejarah pengembangan HAM:

  1. Magna Charta (1215) – Sebuah perlawanan terhadap kekuasaan absolut raja Inggris yang menindas rakyat.

  2. Bill of Rights Amerika Serikat (1791) – Muncul dalam konteks ketidaksetaraan rasial antara kulit putih dan kulit hitam.

  3. Deklarasi Universal HAM (1948) – Merupakan kodifikasi dari berbagai penemuan hak yang sebelumnya muncul di berbagai negara.

Namun demikian, ia menegaskan bahwa Deklarasi Universal HAM bukanlah titik akhir dari perkembangan HAM, melainkan standar dasar yang menekankan prinsip universalisme, kesetaraan, inklusivitas, keterkaitan antar hak, serta sifatnya yang tidak dapat dipisahkan.

Tantangan Indonesia dalam Ratifikasi HAM Internasional

Dalam konteks nasional, Anis menyoroti bahwa Indonesia telah meratifikasi delapan dari sembilan instrumen pokok HAM internasional. Namun, masih ada pekerjaan rumah besar, yaitu belum diratifikasinya Konvensi Internasional untuk Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Secara Paksa. Hal ini relevan dengan peristiwa Mei 1998 yang hingga kini belum tuntas penyelesaiannya. Lebih lanjut, ia menyoroti belum dibukanya akses mekanisme pengaduan individu (individual complaint) oleh Indonesia, meskipun delapan instrumen telah diratifikasi. Padahal, mekanisme ini memungkinkan individu melaporkan langsung pelanggaran HAM ke PBB apabila tidak memperoleh keadilan di dalam negeri.

"Tanpa mekanisme individual complaint, warga negara Indonesia tidak dapat melapor ke komite PBB terkait pelanggaran HAM yang mereka alami, meskipun hak mereka telah dirampas dan tidak mendapatkan keadilan melalui sistem nasional," ujar Anis.

Ia menambahkan, kekhawatiran pemerintah terhadap kemungkinan banyaknya pengaduan dari masyarakat ke PBB tidak seharusnya menjadi alasan untuk menutup akses tersebut. Justru, pengakuan negara terhadap hak-hak individu semestinya menjadi komitmen utama dalam perlindungan HAM.

Isu HAM Kontemporer: Tantangan dan Perkembangan

Anis juga menyoroti bahwa hingga kini belum ada satu pun instrumen HAM internasional yang secara spesifik mengatur tentang perlindungan masyarakat adat. Hal ini menunjukkan bahwa dinamika hukum HAM internasional masih terus berkembang. Ia menambahkan bahwa saat ini konsep pelanggaran HAM tidak lagi terbatas pada aktor negara (state actor), tetapi juga mencakup korporasi. Meski demikian, Indonesia belum memiliki regulasi khusus yang mewajibkan pelaku usaha mematuhi prinsip-prinsip HAM, termasuk dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM.

"Pelaku bisnis juga wajib menjunjung tinggi prinsip HAM, meski belum ada aturan yang mengikat secara langsung di tingkat nasional," jelas Anis.

Antusiasme Mahasiswa dan Diskusi Kritis

Kuliah tamu ini diikuti oleh sekitar 150 peserta, yang sebagian besar merupakan mahasiswa semester empat dari jurusan Hukum Tata Negara dan Perbandingan Mazhab. Sesi diskusi berlangsung dinamis. Salah satu pertanyaan menarik datang dari peserta yang mempertanyakan apakah sistem pemerintahan monarki bertentangan dengan prinsip kebebasan dalam HAM.

Menanggapi hal tersebut, Anis menjelaskan bahwa kebebasan memang merupakan prinsip fundamental dalam HAM. Namun, kebebasan tersebut dapat dibatasi sepanjang memenuhi tiga syarat: legalitas, kebutuhan, dan proporsionalitasSebagai penutup, Anis memberikan pertanyaan reflektif kepada peserta mengenai tantangan masyarakat internasional terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM di Indonesia. Salah satu mahasiswa, Muh Zikril, menanggapi bahwa tantangan utama Indonesia adalah belum diratifikasinya mekanisme individual complaint, yang seharusnya menjadi saluran penting untuk memperjuangkan keadilan bagi korban pelanggaran HAM. (tn)