Imam Abu al-’Abbas ibn Suraij (306 H.)¾seperti
dikutip oleh Ibn al-‘Arabi¾mengajukan
cara pengkompromian antara hadits-hadits yang menggunakan kalimat faqduru
lah (maka kadarkanlah ia) dengan hadits-hadits yang menggunakan kalimat fa
akmilu al-‘iddah (maka sempurnakanlah bilangan bulan itu) dengan
menyatakan:
...أن
قوله
"فاقدروا
له"
خطاب
لمن
خصه
الله
بهذا
العلم,
وأن
قوله
"فأكملوا
العدة"
خطاب
للعامة[1]
”...bahwa sesungguhnya sabda Nabi, ”faqduru lah” merupakan khithab untuk orang yang diberi anugerah khusus oleh Allah untuk menerima ilmu hisab, sedangkan sabda Nabi, ”fa akmilu al-’iddah” merupakan khithab untuk masyarakat umum.”
Terhadap argumentasi para ulama
pendukung hisab di atas, telah dikemukakan berbagai bantahan, antara lain:
1.
Klaim
yang menyatakan bahwa hasil perhitungan hisab bersifat qath’i (pasti)
patut dipertanyakan karena ternyata di antara hasil-hasil perhitungan hisab
terdapat perbedaan-perbedaan yang kadangkala cukup mencolok. Hal ini dapat
dipahami apabila dihubungkan dengan kenyataan beraneka ragamnya metode
perhitungan hisab mulai dari hisab falak ’urfi hingga hisab falak
haqiqi dengan ketiga macamnya, yakni: hisab haqiqi taqribi, hisab haqiqi
tahqiqi dan hisab haqiqi tahqiqi qath’i.[2]
2.
Penafsiran
kata ru’yah dalam hadits-hadits Nabi dengan arti ru’yah bi al-’aql tidak
sejalan dengan kalimat berikutnya dalam hadits-hadits shahih itu yang
menggunakan kalimat fa in ghumma ’alaikum, fa in ghabiya ’alaikum dan
yang semacamnya, karena tidak relevannya keadaan langit yang berawan dalam
hubungannya dengan ru’yah bi al’aql.
3.
Mengartikan
kalimat faqduru lah (maka kadarkanlah hilal itu) dengan arti menghitung
hilal berdasarkan ilmu hisab (’adduh bi al-hisab) dan bahwa hadits
dengan kalimat seperti itu ditujukan kepada ahli hisab, sedangkan hadits-hadits
shahih yang lain yang menggunakan kalimat fa akmilu al-’iddah (maka
sempurnakanlah bilangan bulan) ditujukan kepada masyarakat umum, tidak didukung
oleh alasan yang bisa dipertanggungjawabkan, terutama dari segi konteks
historis hadits tersebut (sabab al-wurud). Bahkan jika dihubungkan
dengan penegasan Nabi sendiri tentang keberadaan masyarakat pada masanya
sebagai umat yang ummi (tidak pandai tulis baca dan berhitung), pendapat
tersebut dapat dianggap sebagai ahistoris.
Adalah lebih tepat dan lebih mendekati
kebenaran cara kompromi yang dikemukakan oleh jumhur ulama yang berupa haml
al-mujmal ’ala al-mufassar (mengartikan lafal yang mujmal kepada arti yang
mufassar) yang cara ini menurut Ibn Rusyd merupakan cara yang tidak
diperselisihkan lagi di kalangan para ahli ushul al-fiqh. Dengan cara
ini, berarti kalimat faqduru lah (maka kadarkanlah ia) harus diartikan
dengan fa akmilu al-’iddah tsalatsin (maka sempurnakanlah bilangan bulan
menjadi tiga puluh hari). [3]
Dari paparan tersebut di atas, dapat
terlihat dengan jelas bahwa kedudukan ru’yah dan istikmal dalam
penentuan awal bulan qamariyyah, khususnya Ramadlan dan Syawwal tidak
tergoyahkan, termasuk oleh hasil hisab para ahli hisab. Namun demikian, hal ini
tidak berarti bahwa perhitungan hisab dikesampingkan sama sekali. Perhitungan
hisab sangatlah penting, terutama dalam memandu orang yang akan melaksanakan ru’yah
al-hilal sebagai fardhu kifayah. Oleh karena itu, ungkapan sementara
ulama mutaakhkhirin penentang hisab yang bernada melecehkan hisab, sangat layak
untuk dikoreksi ulang. Sebagai contoh, ungkapan pengarang kitab Nihayah
al-Muhtaj yang menyatakan bahwa syari’ tidak memegangi hisab, bahkan
mengesampingkan dan membatalkannya sama sekali (ann al-syari’ lam ya’tamid
al-hisab bal alghah bi al-kulliyah).[4]
Adalah lebih simpatik sikap yang
diambil oleh ulama Syafi’iyyah yang lain yang masih memberikan tempat yang
layak kepada hasil perhitungan hisab, seperti tercermin dalam ungkapan-ungkapan
yang membolehkan ahli hisab dan orang-orang yang mempercayai hasil hisabnya
untuk berpuasa dan berhari raya. Imam Nawawi al-Jawi (1315 H.) misalnya
menyatakan bahwa bagi ahli hisab dan orang-orang yang mempercayainya boleh dan
wajib melaksanakan puasa berdasarkan hisab.[5]
Dengan mengambil ru’yah dan istikmal
sebagai pedoman pokok penentuan awal bulan, maka ada dua situasi di mana
pedoman tersebut dapat berbenturan dengan hasil hisab yakni:
1.
Hasil
hisab menunjukkan adanya kemungkinan hilal dapat diru’yah, tetapi tidak
seorangpun dapat meru’yah hilal dalam kenyataan, maka dasar penetapan
awal bulan Ramadlan dan Syawwal adalah istikmal.
2. Hasil hisab menunjukkan tidak adanya kemungkinan hilal dapat diru’yah karena pada saat matahari terbenam, bulan masih berada di bawah ufuq, sementara ada orang yang mengaku berhasil melihat hilal, padahal orang lain yang juga melaksanakan ru’yah di tempat yang sama atau berdekatan tidak berhasil melihatnya.
Menghadapi keadaan yang kedua ini muncul pembahasan serius di kalangan ulama. Taqi al-Din al-Subki¾seperti telah dikutip sebelumnya¾menolak kesaksian orang yang mengaku berhasil meru’yah dalam keadaan seperti ini. Sebaliknya jumhur ulama justru menerimanya, seperti termaktub dalam kitab-kitab fiqh.
Satu hal yang perlu digarisbawahi di sini ialah bahwa dukungan terhadap pendapat jumhur ini di kalangan kaum Muslimin Indonesia, sebenarnya tidak terbatas pada kalangan Nahdlatul Ulama (NU) dan orang-orang yang sepaham, melainkan juga mencakup kalangan yang lebih luas. Sebagai contoh, Prof. Dr. T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy berpendapat bahwa bila hasil hisab menyatakan bahwa hilal tidak akan dilihat, tetapi kenyataannya setelah diadakan ru’yah bi al-fi’il hilal dapat diru’yah oleh mata kepala, maka yang harus diambil adalah penetapan berdasarkan ru’yah.[6]
Sikap yang sama juga diambil oleh
Majelis Tarjih Muhammadiyah yang menyatakan:
إذا أثبت الحاسب عدم وجود الهلال أو وجوده مع عدم إمكان الرؤية ورأى المرء إياه فى الليلة نفسها فأيهما المعتبر؟ قرر مجلس الترجيح أن المعتبر هو الرؤية.
”Jika ahli hisab menetapkan bahwa hilal belum wujud atau sudah wujud tetapi tidak mungkin dapat diru’yah, tiba-tiba seseorang dapat melihat hilal dimaksud pada saat itu juga, maka ketetapan mana yang mu’tabar? Majelis Tarjih Muhammadiyah dalam hal ini menetapkan bahwa ru’yahlah yang dinilai mu’tabar.”[7]
Hal lain yang perlu diperhatikan dalam
kaitannya dengan kasus perbedaan antara hasil ru’yah dan hisab yang
terakhir di atas ialah bahwa penolakan terhadap kesaksian peru’yah dalam
kasus itu tidak harus diartikan sebagai penolakan terhadap eksistensi ru’yah
sebagai pedoman pokok, melainkan dapat dibaca sebagai penolakan terhadap
laporan orang yang mengaku berhasil meru’yah. Untuk itu, sikap Nahdlatul
Ulama (NU) yang mengambil pendapat pengarang Tuhfah al-Muhtaj yang
memberi peluang ditolaknya hasil ru’yah
dengan syarat tertentu dapat dianggap sebagai sikap yang cukup
bijaksana. Dalam hal ini ada dua syarat:
1.
Jika
semua ahli hisab dengan dasar-dasar yang qath’i sepakat tentang tidak
adanya imkan al-ru’yah.
2.
Jika
jumlah ahli hisab mencapai batas mutawatir.[8]
Dengan sikap seperti ini, berarti
kedudukan hisab cukup diperhatikan, sesuai dengan penghargaan Islam terhadap
ilmu pengetahuan dan tekhnologi. Sebenarnya masih terdapat beberapa masalah
hukum yang berkaitan dengan ru’yah al-hilal dan pelaksanaannya, seperti
masalah perbedaan mathla’ (ikhtilaf al-mathali’), masalah jumlah
saksi dan masalah itsbat al-hakim. Akan tetapi mengingat keterbatasan
halaman makalah dan pertimbangan bahwa masalah ru’yah versus hisab
itulah yang paling ramai diperdebatkan,
khususnya di kalangan masyarakat Islam di Indonesia, maka ketiga masalah
tersebut dapat dibahas pada lain kesempatan. Semoga makalah yang bersahaja ini
ada manfaatnya. Amin.
Oleh: Dr. KH. A. Malik Madaniy, MA. (Mantan Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga)
End Notes:
[1] Al-Hafidh Ibn Hajar, Fath al-Bari IV, hal. 86.
[2] Departemen Agama RI, Pedoman
Perhitungan Awal Bulan Qamariyah, Proyek Pembinaan Administrasi Hukum dan
Peradilan Agama, Jakarta, 1983, hal. 7.
[3] Ibn Rusyd, Bidayah I, hal. 208.
[4] Al-Ramli, Nihayah al-Muhtaj III, Al-Babi al-Halabi, Mesir, t.t., hal. 151.
[5] Al-Nawawi, Kasyifah al-Saja, Al-Ma’arif, Bandung, t.t., hal. 116.
[6] Hasbi Ash-Shiddieqy, Pedoman Ibadah
Puasa, Bulan Bintang, Jakarta, 1983, hal. 35.
[7] PP Muhammadiyah, Himpunan Putusan Tarjih, Yogyakarta, 1967, hal. 291
[8] Al-Qalyubi, Syarh Rawdlah II, Dar al-Fikr, Beirut, t.t., hal. 49.
[9] Ibn Rusyd, Bidayah I, hal. 207.
[10] Al-Hafidh Ibn Hajar, Fath al-Bari IV, hal. 86.
[11] Departemen Agama RI, Pedoman
Perhitungan Awal Bulan Qamariyah, Proyek Pembinaan Administrasi Hukum dan
Peradilan Agama, Jakarta, 1983, hal. 7.
[12] Ibn Rusyd, Bidayah I, hal. 208.