Dilihat 0 Kali

UIN SUKA

Selasa, 08 Juli 2025 10:12:00 WIB

PENENTUAN AWAL BULAN QAMARIYYAH SEPANJANG KETENTUAN SYARA’ Part II

Imam Abu al-’Abbas ibn Suraij (306 H.)¾seperti dikutip oleh Ibn al-‘Arabi¾mengajukan cara pengkompromian antara hadits-hadits yang menggunakan kalimat faqduru lah (maka kadarkanlah ia) dengan hadits-hadits yang menggunakan kalimat fa akmilu al-‘iddah (maka sempurnakanlah bilangan bulan itu) dengan menyatakan:

...أن قوله "فاقدروا له" خطاب لمن خصه الله بهذا العلم, وأن قوله "فأكملوا العدة" خطاب للعامة[1]

 

”...bahwa sesungguhnya sabda Nabi, ”faqduru lah” merupakan khithab untuk orang yang diberi anugerah khusus oleh Allah untuk menerima ilmu hisab, sedangkan sabda Nabi, ”fa akmilu al-’iddah” merupakan khithab untuk masyarakat umum.”

Terhadap argumentasi para ulama pendukung hisab di atas, telah dikemukakan berbagai bantahan, antara lain:

1.      Klaim yang menyatakan bahwa hasil perhitungan hisab bersifat qath’i (pasti) patut dipertanyakan karena ternyata di antara hasil-hasil perhitungan hisab terdapat perbedaan-perbedaan yang kadangkala cukup mencolok. Hal ini dapat dipahami apabila dihubungkan dengan kenyataan beraneka ragamnya metode perhitungan hisab mulai dari hisab falak ’urfi hingga hisab falak haqiqi dengan ketiga macamnya, yakni: hisab haqiqi taqribi, hisab haqiqi tahqiqi dan hisab haqiqi tahqiqi qath’i.[2]

2.      Penafsiran kata ru’yah dalam hadits-hadits Nabi dengan arti ru’yah bi al-’aql tidak sejalan dengan kalimat berikutnya dalam hadits-hadits shahih itu yang menggunakan kalimat fa in ghumma ’alaikum, fa in ghabiya ’alaikum dan yang semacamnya, karena tidak relevannya keadaan langit yang berawan dalam hubungannya dengan ru’yah bi al’aql.

3.      Mengartikan kalimat faqduru lah (maka kadarkanlah hilal itu) dengan arti menghitung hilal berdasarkan ilmu hisab (’adduh bi al-hisab) dan bahwa hadits dengan kalimat seperti itu ditujukan kepada ahli hisab, sedangkan hadits-hadits shahih yang lain yang menggunakan kalimat fa akmilu al-’iddah (maka sempurnakanlah bilangan bulan) ditujukan kepada masyarakat umum, tidak didukung oleh alasan yang bisa dipertanggungjawabkan, terutama dari segi konteks historis hadits tersebut (sabab al-wurud). Bahkan jika dihubungkan dengan penegasan Nabi sendiri tentang keberadaan masyarakat pada masanya sebagai umat yang ummi (tidak pandai tulis baca dan berhitung), pendapat tersebut dapat dianggap sebagai ahistoris.

 

Adalah lebih tepat dan lebih mendekati kebenaran cara kompromi yang dikemukakan oleh jumhur ulama yang berupa haml al-mujmal ’ala al-mufassar (mengartikan lafal yang mujmal kepada arti yang mufassar) yang cara ini menurut Ibn Rusyd merupakan cara yang tidak diperselisihkan lagi di kalangan para ahli ushul al-fiqh. Dengan cara ini, berarti kalimat faqduru lah (maka kadarkanlah ia) harus diartikan dengan fa akmilu al-’iddah tsalatsin (maka sempurnakanlah bilangan bulan menjadi tiga puluh hari). [3]

 

Dari paparan tersebut di atas, dapat terlihat dengan jelas bahwa kedudukan ru’yah dan istikmal dalam penentuan awal bulan qamariyyah, khususnya Ramadlan dan Syawwal tidak tergoyahkan, termasuk oleh hasil hisab para ahli hisab. Namun demikian, hal ini tidak berarti bahwa perhitungan hisab dikesampingkan sama sekali. Perhitungan hisab sangatlah penting, terutama dalam memandu orang yang akan melaksanakan ru’yah al-hilal sebagai fardhu kifayah. Oleh karena itu, ungkapan sementara ulama mutaakhkhirin penentang hisab yang bernada melecehkan hisab, sangat layak untuk dikoreksi ulang. Sebagai contoh, ungkapan pengarang kitab Nihayah al-Muhtaj yang menyatakan bahwa syari’ tidak memegangi hisab, bahkan mengesampingkan dan membatalkannya sama sekali (ann al-syari’ lam ya’tamid al-hisab bal alghah bi al-kulliyah).[4]

 

Adalah lebih simpatik sikap yang diambil oleh ulama Syafi’iyyah yang lain yang masih memberikan tempat yang layak kepada hasil perhitungan hisab, seperti tercermin dalam ungkapan-ungkapan yang membolehkan ahli hisab dan orang-orang yang mempercayai hasil hisabnya untuk berpuasa dan berhari raya. Imam Nawawi al-Jawi (1315 H.) misalnya menyatakan bahwa bagi ahli hisab dan orang-orang yang mempercayainya boleh dan wajib melaksanakan puasa berdasarkan hisab.[5]

 

Dengan mengambil ru’yah dan istikmal sebagai pedoman pokok penentuan awal bulan, maka ada dua situasi di mana pedoman tersebut dapat berbenturan dengan hasil hisab yakni:

1.      Hasil hisab menunjukkan adanya kemungkinan hilal dapat diru’yah, tetapi tidak seorangpun dapat meru’yah hilal dalam kenyataan, maka dasar penetapan awal bulan Ramadlan dan Syawwal adalah istikmal.

2.      Hasil hisab menunjukkan tidak adanya kemungkinan hilal dapat diru’yah karena pada saat matahari terbenam, bulan masih berada di bawah ufuq, sementara ada orang yang mengaku berhasil melihat hilal, padahal orang lain yang juga melaksanakan ru’yah di tempat yang sama atau berdekatan tidak berhasil melihatnya.

Menghadapi keadaan yang kedua ini muncul pembahasan serius di kalangan ulama. Taqi al-Din al-Subki¾seperti telah dikutip sebelumnya¾menolak kesaksian orang yang mengaku berhasil meru’yah dalam keadaan seperti ini. Sebaliknya jumhur ulama justru menerimanya, seperti termaktub dalam kitab-kitab fiqh.

Satu hal yang perlu digarisbawahi di sini ialah bahwa dukungan terhadap pendapat jumhur ini di kalangan kaum Muslimin Indonesia, sebenarnya tidak terbatas pada kalangan Nahdlatul Ulama (NU) dan orang-orang yang sepaham, melainkan juga mencakup kalangan yang lebih luas. Sebagai contoh, Prof. Dr. T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy berpendapat bahwa bila hasil hisab menyatakan bahwa hilal tidak akan dilihat, tetapi kenyataannya setelah diadakan ru’yah bi al-fi’il hilal dapat diru’yah oleh mata kepala, maka yang harus diambil adalah penetapan berdasarkan ru’yah.[6]

Sikap yang sama juga diambil oleh Majelis Tarjih Muhammadiyah yang menyatakan:

إذا أثبت الحاسب عدم وجود الهلال أو وجوده مع عدم إمكان الرؤية ورأى المرء إياه فى الليلة نفسها فأيهما المعتبر؟ قرر مجلس الترجيح أن المعتبر هو الرؤية. 

”Jika ahli hisab menetapkan bahwa hilal belum wujud atau sudah wujud tetapi tidak mungkin dapat diru’yah, tiba-tiba seseorang dapat melihat hilal dimaksud pada saat itu juga, maka ketetapan mana yang mu’tabar? Majelis Tarjih Muhammadiyah dalam hal ini menetapkan bahwa ru’yahlah yang dinilai mu’tabar.”[7] 

Hal lain yang perlu diperhatikan dalam kaitannya dengan kasus perbedaan antara hasil ru’yah dan hisab yang terakhir di atas ialah bahwa penolakan terhadap kesaksian peru’yah dalam kasus itu tidak harus diartikan sebagai penolakan terhadap eksistensi ru’yah sebagai pedoman pokok, melainkan dapat dibaca sebagai penolakan terhadap laporan orang yang mengaku berhasil meru’yah. Untuk itu, sikap Nahdlatul Ulama (NU) yang mengambil pendapat pengarang Tuhfah al-Muhtaj yang memberi peluang ditolaknya hasil ru’yah  dengan syarat tertentu dapat dianggap sebagai sikap yang cukup bijaksana. Dalam hal ini ada dua syarat:

1.      Jika semua ahli hisab dengan dasar-dasar yang qath’i sepakat tentang tidak adanya imkan al-ru’yah.

2.      Jika jumlah ahli hisab mencapai batas mutawatir.[8]

 

Dengan sikap seperti ini, berarti kedudukan hisab cukup diperhatikan, sesuai dengan penghargaan Islam terhadap ilmu pengetahuan dan tekhnologi. Sebenarnya masih terdapat beberapa masalah hukum yang berkaitan dengan ru’yah al-hilal dan pelaksanaannya, seperti masalah perbedaan mathla’ (ikhtilaf al-mathali’), masalah jumlah saksi dan masalah itsbat al-hakim. Akan tetapi mengingat keterbatasan halaman makalah dan pertimbangan bahwa masalah ru’yah versus hisab itulah yang paling ramai diperdebatkan,  khususnya di kalangan masyarakat Islam di Indonesia, maka ketiga masalah tersebut dapat dibahas pada lain kesempatan. Semoga makalah yang bersahaja ini ada manfaatnya. Amin.

 Oleh: Dr. KH. A. Malik Madaniy, MA. (Mantan Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga)

End Notes:


[1] Al-Hafidh Ibn Hajar, Fath al-Bari IV, hal. 86.

[2] Departemen Agama RI, Pedoman Perhitungan Awal Bulan Qamariyah, Proyek Pembinaan Administrasi Hukum dan Peradilan Agama, Jakarta, 1983, hal. 7.

[3] Ibn Rusyd, Bidayah I, hal. 208.

[4] Al-Ramli, Nihayah al-Muhtaj III, Al-Babi al-Halabi, Mesir, t.t., hal. 151.

[5] Al-Nawawi, Kasyifah al-Saja, Al-Ma’arif, Bandung, t.t., hal. 116.

[6] Hasbi Ash-Shiddieqy, Pedoman Ibadah Puasa, Bulan Bintang, Jakarta, 1983, hal. 35.

[7] PP Muhammadiyah, Himpunan Putusan Tarjih, Yogyakarta, 1967, hal. 291

[8] Al-Qalyubi, Syarh Rawdlah II, Dar al-Fikr, Beirut, t.t., hal. 49.

[9] Ibn Rusyd, Bidayah I, hal. 207.

[10] Al-Hafidh Ibn Hajar, Fath al-Bari IV, hal. 86.

[11] Departemen Agama RI, Pedoman Perhitungan Awal Bulan Qamariyah, Proyek Pembinaan Administrasi Hukum dan Peradilan Agama, Jakarta, 1983, hal. 7.

[12] Ibn Rusyd, Bidayah I, hal. 208.

kolom Terbaru